Antaga Dan Ismaya
Waktu berjalan begitu cepat , ketiga putra Sang Hyang Tunggal sudah tumbuh dewasa , dan telah menguasai seluruh ilmu pengetahuan dan kesaktian juga mantra mantra yang dimiliki oleh Sang Hyang Tunggal , dan inilah saatnya Sang Hyang Tunggal lengser keparbon dan memilih salah satu diantara mereka untuk menjadi pewarisnya.
Agar para putranya bisa mandiri dan belajar untuk bisa menjadi seorang pemimpin maka diciptakanlah kahyangan Manik Maninten sebagai tempat tinggal mereka , sementara Sang Hyang Tunggal dan Istrinya kembali ke kahyangan alang alang kumitir atau juga disebut Kahyangan Suralaya dengan istananya yang bernama Jonggring Saloka.
Yang pertama berusaha keluar dari Kahyangan Manik Maninten adalah Sang Hyang Antaboga dia sering memamerkan ilmu kesaktiannya, terutama dalam hal penciptaan.
Tetapi justru sikapnya yang ingin pamer itu malah merugikan , sabda sabda yang diharapkan bisa menghasilkan penciptaan berupa dewa - dewi atau para bidadara bidadari malah menciptakan roh roh halus dan lelembut yang jumlahnya makin lama makin bertambah banyak dan membutuhkan tempat maka sang hyang Tunggal pun menciptakan Kahyangan Setra Gandalayu yang berada di bawah Kahyangan Manik Maninten, sementara diatas Kahyangan Manik Maninten Alkisah di istana Jonggring Salaka, Kahyangan Suralaya. Sang Hyang Tunggal yang didampingi kedua permaisurinya memanggil ketiga putranya, Sang Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Manikmaya. Ia bermaksud ingin menyerahkan tahta Suralaya kepada salah putranya, namun sebelumnya Sang Hyang Tunggal mengisahkan perihal kelahiran mereka yang berasal dari sebutir telur hingga tercipta menjadi sosok manusia dewa. Dan yang membuat Sang Hyang Tunggal belum bisa menentukan siapa diantara putranya yang berhak mewarisi Kahyangan Suralaya, adalah karena dulu Sang Hyang Tunggal menyirami tiga bagian pecahan telur itu secara bersamaan sehingga tidak ada yang tercipta lebih dahulu dari bagian lainnya, tidak ada istilah ter-tua diantara yang lainnya, besarnya pun bersamaan.
Sebelum Sang Hyang Tunggal selesai bersabda, tiba-tiba Sang Hyang Antaga berkata kepada Sang Hyang Tunggal. Ia mengatakan bahwa kulit telur tentunya lebih awal dilahirkan, sebab kulit berada diluar isi dan telah ditakdirkan menjadi pelindung, yaitu melindungi isi telur yang lemah. Maka menurut Sang Hyang Antaga, kulit telurlah yang dianggap lebih tua dibandingkan dengan isinya.
Sang Hyang Ismaya menepis perkataan Sang Hyang Antaga. Menurutnya, bahwa kulit dan isi telur adalah satu kesatuan yang terlahir bersamaan. Tanpa adanya putih dan merah telur yang menjadi isi, maka kulit telur pun tidak akan ada. Tidaklah mungkin telur terlahir hanya kulitnya saja tanpa ada isi yang telah ikut menyempurnakan keadaannya. Dan Sang Hyang Ismaya mengingatkan kepada Sang Hyang Antaga, bahwa putih dan merah telur yang menjadi isi adalah cikal bakal yang menjadi adanya tanda-tanda kehidupan. Kulit hanya ragangannya saja, tetapi isilah yang menjadi sumber dan keutamanya.
Sang Hyang Antaga tersinggung mendengar kata-kata Sang Hyang Ismaya. Ia yang tercipta dari kulit telur merasa dihina, tidak dianggap memiliki keutamaan, hanya ragangan yang berarti benda kosong yang tidak memiliki arti. Sang Hyang Antaga pun berjumawa, ia menganggap kulit telur adalah yang terkuat dengan wujud keras dibandingkan isi. Sang Hyang Ismaya membantah, bagaimana bisa disebut kuat kalau kulit telur bisa retak dan pecah. Adu mulut antara Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya kian memanas, mereka berdua sama-sama telah terbakar amarah.
Kita adu kesaktian! Siapa yang kuat diantara kita!
Adigang, adigung, adiguna. Sang Hyang Antaga menunjukan perwatakannya yang secara lahir tercipta dari kulit telur, keras, jumawa dan selalu merasa dirinya yang paling hebat.
Sang Hyang Ismaya yang sudah merasa jengah dengan segala perkataan dan sikap saudaranya, menanggapi tantangan. Bagi Sang Hyang Ismaya menolak tantangan adalah tindakan seorang pengecut. Sekaligus akan memberi pelajaran kepada Hyang Antaga bahwa “girilusi jalmo tan keno ing ngino” di atas langit masih ada langit, jangan menganggap diri paling sakti di atas muka bumi.
Melihat perselisihan yang kian memanas diantara kedua putranya, Sang Hyang Tunggal segera melerai. Ia menasehati putra-putranya agar bisa lebih berpikir secara jernih dan terbuka, sebab semua masalah akan ada jalan keluarnya bila tanggapi dengan jiwa yang bersih. Tapi sudah terlanjur, keduanya sudah merasa saling dihinakan satu sama lainnya, maka keduanya pun sudah tidak menghiraukan lagi nasehat ayahandanya.
Bertikai dengan saudara sendiri, apakah kalian tidak akan menyesal nantinya?
Guntur menggelegar dan kilat menyambar. Awan hitam berarak berkejaran menutupi langit, bumi pun bergetar. Candradimuka bergolak menyemburkan lahar api yang sangat panas. Sabda Sang Hyang Tunggal telah menjadi kutukan bagi mereka, namun karena keduanya sudah sama dirasuki nafsu angkara murka, maka keduanya sudah tidak mampu berfikir dengan hati nuraninya. Hyang Antaga segera melesat meninggalkan Jonggring Salaka, dan kemudian disusul oleh Sang Hyang Ismaya.
Dilain pihak Sang Hyang Manikmaya hanya diam membisu. Dia tidak mau melibatkan diri dalam pertikaian kedua saudaranya, terkesan tidak ingin ikut campur. Akan tetapi ‘diam’ yang dilakukan Sang Hyang Manikmaya bukanlah sebab halus budi pekertinya. Disinilah perbedaan perwatakan diantara mereka. Sang Hyang Manikmaya lebih cerdik dibandingkan kedua saudaranya, ia licik dan otaknya mampu bekerja dengan baik dibandingkan nafsunya. Sang Hyang Manikmaya akan membiarkan kedua saudaranya yang bertikai. Ia tahu bahwa diantara mereka mempunyai kesaktian yang berimbang, jadi untuk apa harus membuang tenaga ikut mengadu kesaktian dengan mereka. Yang terlintas dalam pikirannya adalah, ini kesempatan baik untuk bisa merebut hati ayahandanya dan mengincar singgasana Suralaya.
Sementara itu, jauh di luar gerbang gaib Selamatangkep, dua kesatria dewa telah saling beradu kesaktian. Masing-masing dari keduanya menunjukan keluhuran ilmunya. Saling mengeluarkan aji jaya kawijaya dan saling menghunus pusaka kadewatan. Mereka saling serang, saling pukul, saling tusuk dan saling banting hingga mengakibatkan guncangan hebat bagi bumi tempat mereka bertarung. Gunung longsor, bukit rug-rug. Candradimuka tidak henti-hentinya mengeluarkan semburan api panas yang menyala, asap hitamnya menggumpal melingkupi puncak Himalaya (Kahyangan Suralaya).
Tidak disangsikan lagi kehebatan dari kedua putra Sang Hyang Tunggal itu, keduanya sama-sama sakti, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Palagan yuda tempat bertarung mereka tidak hanya di atas lapisan bumi, tapi juga masuk ke dalam perut bumi, bertarung di dasar samudera dan bahkan berdirgantara di angkasa.
Pertempuran dua kesatria dewa yang berlangsung dahsyat ini mengundang rasa keprihatinan bagi kakek-kakek mereka, baik Sang Hyang Wenang yang bersemayam di alam ‘sunyaruri’, ataupun Sah Hyang Rekatama (Sang Hyang Yuyut) yang bersemayam di Samudralaya. Telah banyak yang menjadi korban karena dampak dari pertarungan kedua cucunya. Rusaknya gunung, hutan dan lautan, juga mahluk-mahluk lain baik yang berada di alam maya ataupun di alam nyata.
Pertarungan antara Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga telah memakan waktu yang cukup lama, tanpa berhenti dan tanpa mengenal rasa lelah. Dan saat pertarungan menginjak waktu yang ke-empat puluh hari, Sang Hyang Tunggal memutuskan untuk menyelesaikan pertarungan dengan mengajukan syarat sayembara kepada kedua putranya. Barang siapa yang mampu menelan gunung Jamurdipa dan lalu memuntahkannya kembali, maka dialah yang akan diakui sebagai yang tertua dan dinobatkan sebagai Raja Tribuana, mewarisi seluruh Kahyangan Suralaya.
0 Comments:
Posting Komentar