Kumpulan cerita berdasarkan pewayangan

Halaman

Gelar Jagad


Setelah tatanan di kahyangan sudah tercipta dan semua sudah berjalan dengan baik , maka Sang Hyang Manik Maya pun ingin menata keadaan di Marcapada , saat itu di marcapada masih kosong , untuk itu maka diutuslah Sang Hyang Batara Chandra, Sang Hyang Batara Brama, Sang Hyang Batara Indra, Sang Hyang Batara Surya, Sang Hyang Batari Ratih, Sang Hyang Batara Bayu, Sang Hyang Batara Hananta Boga, Sang Hyang Batara Baruna dan Sang Hyang Batara Wisnu untuk menciptakan tempat di luar Sela Matangkep.

Saat itulah baru terciptanya dunia, dimulai dengan adanya Bintang yang diciptakan oleh Sang Hyang Batari Ratih

Sang Hyang Batara Brama bersama-sama dengan Sang Hyang Batara Hananta Boga dan Sang Hyang Batara Wisnu menciptakan Bumi dan planet-planet yang lain.

Bumi sendiri diciptakan awalnya dari sebuah gumpalan api yang dibuat oleh Sang Hyang Batara Brama yang kemudian dilapisi oleh jangkar bumi dan cangkang bumi oleh Sang Hyang Batara Hananta Boga dan Sang Hyang Batara Surya memindahkan kaki Kahyangan Ekacakra mendekati Bumi yang sekarang kita kenal dengan nama Matahari.

Kemudian Sang Hyang Batara Chandra juga memindahkan kaki Kahyangan Cakra Kembang ke dekat Bumi yang kita kenal dengan nama Bulan, Sang Hyang Batara Bayu menciptakan atmosfir serta Sang Hyang Batara Indra menciptakan hujan. Bumi pada waktu itu masih panas karena belum ada lautan.

Baru setelah itu diturunkanlah para lelembut dan drubiksa ke Bumi atau Arcapada, akan tetapi ternyata setelah itu terjadi saling serang antara mereka untuk memperebutkan wilayah yang mereka sukai. Sehingga kemudian diturunkan juga para Hapsara dan Hapsari serta para Widadara dan Widadari ke Bumi / Marcapada untuk membuat hirarki di Arcapada agar terjadi kestabilan dan keamanan di Arcapada. Setelah situasi di Arcapada cukup aman, baru kemudian oleh Batara-Batari yang ditugaskan [tanpa Sang Hyang Hananta Boga] diciptakanlah tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan.




Adalah Sang Hyang Batara Brama yang pertama kali menciptakan manusia, diambil dari tanah dan dibuat dengan kepalan tangannya, karena Sang Hyang Batara Brama adalah Dewa Api maka wujud manusia yang dibuat terlalu gosong, makanya kemudian disebut dengan Bangsa Keling. Proses penciptaan manusia pertama itu terjadi di daratan Jawa di Gunung Bromo, dan manusia yang diciptakan saat itu suhunya sangat panas untuk tinggal di dataran rendah sehingga mereka hanya dapat hidup di ketinggian yang suhunya lebih dingin.

Kemudian Sang Hyang Batara Wisnu juga menciptakan manusia dan terwujudlah sosok manusia yang lebih baik dan sempurna [seperti manusia sekarang ini], kejadian itu masih di daratan Jawa di Gunung Pawinihan [sekarang Gunung Wilis]. Tetapi saat itu manusia ciptaan Sang Hyang Batara Wisnu kondisi suhunya masih sama karena hanya mampu tinggal di tempat dingin. Manusia ciptaan itu menjadi rebutan dari para Hapsara dan Hapsari untuk dimomong oleh mereka.Maka diaturlah agar manusia mempunyai keturunan dulu dan kemudian anak-anak mereka langsung di bawa oleh para Hapsara dan Hapsari untuk kemudian wajahnya dibentuk sesuai dengan wajah dari para Hapsara dan Hapsari yang memomongnya. Hal ini dilakukan agar Arcapada dapat dipenuhi oleh manusia untuk keseimbangan alam semesta.

Delapan Batara dan Batari yang ikut dalam proses penciptaan manusia dan Prawita Sari [air suci keabadian], yaitu Sang Hyang Batara Chandra, Sang Hyang Batara Brama, Sang Hyang Batara Indra, Sang Hyang Batara Surya, Sang Hyang Batari Ratih, Sang Hyang Batara Bayu, Sang Hyang Batara Baruna dan Sang Hyang Batara Wisnu inilah yang disebut dengan Hasta BrataHasta berarti delapan dan Brata berarti laku, watak, atau sifat utama yang di ambil dari sifat alam.
  1. Sang Hyang Batara Chandra mewakili sifat Bulan 
  2. Sang Hyang Batara Brama mewakili sifat Api
  3. Sang Hyang Batara Indra mewakili sifat Langit/ Angkasa
  4. Sang Hyang Batara Surya mewakili sifat Matahari
  5. Sang Hyang Batari Ratih mewakili sifat Bintang
  6. Sang Hyang Batara Bayu mewakili sifat Angin
  7. Sang Hyang Batara Baruna mewakili sifat Air
  8. Sang Hyang Batara Wisnu mewakili sifat Bumi/ Tanah
Kemudian para Batara-Batari dan Dewa-Dewi turun ke bumi dan mulai mengajarkan pola kehidupan kepada umat manusia, hal itu dilakukan agar manusia kemudian secara otomatis dan naluri akan mengajarkan kepada keturunannya juga, sehingga tidak perlu setiap generasi berikutnya dari keturunan manusia yang lahir, para Batara-Batari dan Dewa-Dewi harus turun ke Arcapada untuk mengajarkan pola yang sama.
Beberapa pola kehidupan yang diajarkan kepada manusia itu antara lain :
  • Sang Hyang Batara Brama mengajarkan kepada manusia bagaimana caranya membikin perkakas
  • Sang Hyang Batara Wisma Karma mengajarkan manusia cara membikin rumah tinggal
  • Sang Hyang Batara Wrehaspati mengajarkan Manusia ilmu pengetahuan
  • Sang Hyang Batara Wisnu mengajarkan aturan antar manusia, aturan-aturan berkehidupan untuk tidak saling menjegal
  • Sang Hyang Batara Mahadewa mengajarkan manusia caranya membikin perhiasan dan pakaian
  • Sang Hyang Batara Cipta Gupta mengajarkan manusia caranya mengenal dan membuat warna-warni
  • dan lain-lain

Manusia-manusia awal yang tercipta di Arcapada ini baik yang di Gunung Bromo maupun yang di Gunung Pawinihan dinamakan Bangsa Keling dari kata 'kelingan' yang mengingatkan tentang awal penciptaan, struktur komunal pertama manusia dinamakan Kerajaan Keling dengan Kraton-nya berada di lereng Gunung Pawinihan yang dipimpin oleh Sang Maha Prabu Radite yang dimomong oleh Sang Hyang Batara Wisnu.
Semua peristiwa sebagai bagian dari awal peradaban ini terjadi di jaman sedang Kala Kukila pada jaman besar Kali Swara, di mana saat itu belum diciptakan lautan dan putaran Bumi masih belum stabil.

Batara Guru Krama 2 : Lahirnya Lima Putra Batara Guru


Kahyangan Suralaya kini bertambah ke-elokannya setelah Sanghyang Manikmaya Raja Tribuana mempersunting Dewi Uma putri Prabu Umaran dan Dewi Nurweni dari negeri Merut. Seperti ratna mutu manikam ditengah samudra biru, cahayanya gemerlapan bersinar menerangi Jonggring Salaka. Burung dan angin bernyanyi seirama dengan alunan gending lokananta yang mendayu sepanjang waktu dalam ruang kahyangan. Seperti juga titik-titik embun yang jatuh di dedauanan sebelum langit terbuka, menyongsong kehadiran sang fajar yang memberikan kehangatan pada ruang bumi. Generasi-generasi para dewa keturunan Hyang Manikmaya akan bermuasal dari sini untuk meramaikan kahyangan dan marcapada.

Angin malam semilir berhembus berkelana membisikan keheningan peraduan dua insan yang sedang melintasi gelora asmara. Semerbak harum wewangian bunga kahyangan melengkapi rasa asyik dan masyuk, menimbulkan keinginan untuk dapat selalu merajut cinta dan kasih selamanya… kepada sang dewi yang memancarkan kebahagiaan.
Beberapa kurun waktu setelah pernikahan mereka, Dewi Uma melahirkan seorang putra yang kelahirannya disertai bau harum semerbak diseluruh kahyangan Suralaya. Putra pertama ini diberi nama Batara Sambu yang memiliki sifat jujur dengan perbawa (perlambang) ‘awan’ (mega). Batara Sambu bersemayam di kahyangan Suwelagringging, ia menikah dengan Dewi Darmastuti putri dari Sanghyang Ismaya dengan Dewi Senggani. Dari pernikahannya dengan Dewi Darmastuti, Batara Sambu dikaruniai empat orang putra, antara lain adalah Batara Sambusa, Batara Sambawa, Batara Sambujana dan Batara Sambudana. Kelak dari salah satu putranya akan menurunkan raja-raja raksasa seperti Rahwana hingga Nirtakawaca yang akan diasuh oleh Hyang Antaga (Togog).

Seiring berjalannya waktu, cinta kasih antara Hyang Manikmaya dan dewi Uma kembali menurunkan benih keturunan. Dewi Uma kembali melahirkan seorang putra, saat itu kelahiran putra kedua diawali dengan membuncahnya lahar panas Candradimuka hingga menyalakan kobaran api yang sangat besar dan dahsyat. Putra kedua itu lalu diberi nama Batara Brahma yang memiliki sifat semangat yang menyala-nyala dengan perbawa (perlambang) ‘api’. Ia bersemayam di kahyangan Tursina Geni (Daksina Geni). Batara Brahma menikah dengan tiga orang putri Sanghyang Nioya, mereka adalah Dewi Saci, Dewi Sarasyati dan Dewi Rarasyati. Dari perkawinannya dengan Dewi Saci, Batara Brahma dikaruniai dua orang putra, yaitu : Batara Maricibrama dan Batara Naradabrama. Sedangkan perkawinanya dengan Dewi Sarasyati dikaruniai lima orang putra, yaitu : Batara Bramanasa, Batara Bramasadewa, Batara Bramanasadara, Batara Bramarakanda, Batara Bramanaresi. Adapun putra dan putri Batara Brahma dengan Dewi Rarasyati adalah Dewi Bremani, Dewi Bramanisri, Batara Bramaniskala, Batara Bramanayara, Dewi Bramanista, Dewi Bramaniyari, Dewi Bramaniyodi, Batara Bramanayana, Batara Bramaniyata, Batara Bramanasatama, Dewi Bramanayekti, Dewi Bramaniyuta, Dewi Dresnala, Dewi Dreswati.

Waktu-waktu berikutnya Dewi Uma kembali melahirkan putranya yang ketiga. Pada saat itu kelahiran putra ketiga seiring dengan musim penghujan yang berkepanjangan. Putra ketiga ini diberi nama Batara Indra yang memiliki sifat rasa dengan perbawa (perlambang) ‘halilintar’. Batara Indra bersemayam di kahyangan Rinjamaya (kahyangan kaindran). Indra menikah dengan Dewi Wiyati putri Sanghyang Nioya, mereka dikaruniai putra dan putri, yaitu : Dewi Tara, Dewi Tari, Batara Citrarata, Batara Citragana, Batara Jayantaka, Batara Jayantara, Batara Harjunawangsa.

Selanjutnya Dewi Uma kembali melahirkan lagi putranya yang keempat. Pada saat kelahiran putra keempat ini diiringi oleh angin prahara yang sangat dahsyat. Maka, putra keempat mereka beri nama Batara Bayu yang memiliki sifat daya atau kekuatan dengan perbawa (perlambang) ‘angin’. Batara Bayu bersemayam di kahyangan Panglawung, ia menikah dengan Dewi Sumi putri Batara Soma, cucu dari Sanghyang Pancaresi yang adalah keturunan Sanghyang Darmajaka (Darmakaya) kakak kandung Sanghyang Wenang. Perkawinan Batara Bayu dengan Dewi Sumi dikaruniai empat orang putra, yaitu : Batara Sumarma, Batara Sangkara, Batara Sadarma, dan Batara Bismakara.

Setelah Hyang Manikmaya dan Dewi Uma beranak panak seperti layaknya manusia, maka mereka mendapat teguran dari Sanghyang Tunggal. Bahwa untuk menurunkan keturunan yang linuih, Hyang Manikmaya dan Dewi Uma tidak hanya melakukan olah asmara biasa, tapi harus menjalaninya dengan cara menempuh keheningan dengan menggunakan aji asmaracipta, asmaraturida, asmaragama. Hyang Manikmaya dan Dewi Uma menuruti nasehat Sanghyang Tunggal. Dari lelaku mereka lahirlah putra kelima yang diiringi oleh berbagai macam perubahan cuaca yang menimbulkan bencana alam seperti panas, hujan yang disertai petir, dan angin topan prahara yang sangat dahsyat. Peristiwa tersebut menimbulkan kembali membuncahnya lahar api Candradimuka. Putra kelima Hyang Manikmaya dan Dewi Uma diberi nama oleh Sanghyang Tunggal dengan nama Batara Wisnu yang memiliki sifat bijaksana, perbawanya adalah manunggalnya empat sifat, yaitu sifat jujur (Batara Sambu), semangat (Batara Brahma), rasa (Batara Indra), dan daya atau kekuatan (Batara Bayu). Batara Wisnu bersemayam di kahyangan Untarasegara, ia menikah dengan dua orang putri dari Batara Wismaka (putra kelima Sanghyang Pancaresi), mereka adalah dewi Sri Pujayanti (Dewi Laksmita) dan Dewi Sri Sekar (Dewi Laksmi). Dari Dewi Sri pujayanti (Dewi Laksmita), Batara Wisnu dikaruniai putra dan putri, yaitu : Batara Heruwiyana, Batara Ishawa, Batara Bhisawa, Batara Isnawa, Batara Isnapurna, Batara Madura, Batara Madudewa, Batara Madusadana, Dewi Srihuna, Dewi Srihuni, Batara Pujarta, Batara Panwanboja, Batara Sarwedi.
Dari perkawinannya dengan Dewi Sri Sekar, Batara Wisnu dikaruniai tiga orang anak, yaitu : Batara Srigati (pendiri negara Purwacarita, ia menjadi raja Purwacarita bergelar Prabu Sri Mahapunggung), Batara Srinada (pendiri negara Wirata / Wirata kuno, ia menjadi raja Wirata bergelar Prabu Basurata), Dewi Srinadi.

Putra ke-enam Dewi Uma dengan Hyang Manikmaya adalah Batara Gana (Ganesa). Peristiwa kelahirannya diawali saat Dewi Uma hamil, ia merasa sangat kaget dengan kehadiran gajah Erawati yang datang secara tiba-tiba. Gajah besar kendaraan Batara Indra itu dimaki-maki oleh Dewi Uma, karena kesal dan saking terkejutnya. Maka ketika lahir putra ke-enam Hyang Manikmaya dan Dewi Uma itu berwujud manusia gajah, tubuhnya berbentuk manusia, kepalanya berwujud gajah. Oleh Hyang Manikmaya diberinama Batara Gana (Ganesa).

Selain Sanghyang Manikmaya, sebenarnya para sanghyang dan dewa lainnya juga berkembang menurunkan keturunan mereka, seperti Sanghyang Ismaya yang telah mempersunting seorang bidadari yang bernama Dewi Senggani, putri dari Sanghyang Wening (saudara kembarnya Sanghyang Wenang). Dari pernikahannya dengan Dewi Senggani, Hyang Ismaya dikaruniai sepuluh orang anak, diantaranya adalah Bathara Wungkuam, Bathara Tembora, Bathara Kuwera, Bathara Wrahaspati, Bathara Syiwah (bukan Shiwa), Bathara Surya, Bathara Chandra, Bathara Yama/Yamadipati, Bathara Kamajaya dan Bathari Darmastuti (istri Batara Sambu, putra Hyang Manikmaya).
Sanghyang Senggana kakak kandung Dewi Senggani menurunkan keturunan yang berbentuk burung belibis.

Sanghyang Nioya yang bersemayam di kahyangan Argamaya, menikah dengan Batari Darmastuti, yang masih kemenakannya sendiri. Sebab, Sanghyang Nioya adalah putra ke-empat dari Sanghyang Wenang, sedangkan Batari Darmastuti adalah putri Sanghyang Tunggal dari Dewi Dermani. Dari pernikahannya dengan Dewi Darmastuti, Hyang Nioya dikaruniai empat puluh satu orang anak. Salah seorang dari anak Hyang Nioya adalah Hyang Baruna, dan empat puluh lainnya adalah bidadari-bidadari yang akan dinikahkan dengan keturunan Hyang Manikmaya dan keturunan Hyang Ismaya. Dari sekian banyak putri Sanghyang Nioya yang dikenal dalam pedalangan diantaranya Dewi Warsiki yang merupakan salah satu pimpinan tujuh bidadari upacara di kahyangan, dan Dewi Urwaci, bidadari paling seksi di kahyangan dan menjadi kecintaan Hyang Manikmaya.


Sanghyang Heramaya putra bungsu Hyang Wenang menikah dengan putri raja jin di perairan. Dari perkawinannya itu lahirlah seorang putra bernama Batara Gangga.

Sanghyang Taya, adik dari Sanghyang Wenang juga telah berputra empat orang. Yang sulung bernama Sanghyang Parma, memiliki putra bernama Sanghyang Pramana. Putranya tersebut memiliki putri bernama Dewi Tappi yang menikah dengan raja jin penguasa bangsa binatang bernama Sanghyang Darampalan. Dari perkawinan itu lahir Batara Winata berwujud burung, Batara Agli berwujud musang, Batara Karpa berwujud kowangan, dan Batara Kowara berwujud sapi.

Batara Narada putra Sanghyang Caturkaneka dari Shindu / Siddi Udaludal menikah dengan Dewi Wiyodi putri Sanghyang Pancaresi (adik kandung Sanghyang Caturkaneka). Dari pernikahannya itu dikaruniai dua orang anak, yaitu : Dewi Kanekawati dan Batara Malangdewa.

Putri bungsu Sanghyang Wenang dengan Dewi Sahoti yang bernama Dewi Suyati menikah dengan Sanghyang Anantaswara dari Saptapertala (Saptabumi), mereka dikaruniai putra bernama Sanghyang Anantanaga (ular) dan menikah dengan Dewi Wasu (putri Sanghyang Nioya). Dari perkawinan Anantanaga dengan Dewi Wasu menurunkan seorang putra yang bernama Sanghyang Antaboga (Nagapasa), jadi Hyang Antaboga adalah keturunan ketiga dari Hyang Wenang.

Batara Guru Krama 1 : Dewi Uma


Cahaya sang surya memancar keemasan diufuk timur, sinarnya menghangatkan titik-titik embun yang membasahi dedaunan. Kicau burung besahutan menyapa pagi dengan segala kebahagiaan yang alami. Marcapada kembali terisi dengan suasana kedamaian.
Pagi itu puncak Tengguru dikejutkan oleh penampakan sosok ‘akyan’ (wujud halus) seorang bocah bayi yang terbang melayang melintasi hutan-hutan pegunungan dan bermain-main di depan gerbang gaib Selamatangkep. Cingkarabala dan Balaupata, dua raksasa penjaga gerbang yang merasa heran dengan sosok bayi ajaib tersebut mencoba menangkapnya namun tidak berhasil. Sosok bayi itu wujudnya halus bercahaya, ia tidak dapat disentuh, dipegang dan dirsakan. Lebih mengherankan lagi bagi Cingkarabala dan Balaupata ketika sosok bayi ajaib itu sanggup menembus Selamatangkep dengan sangat mudah. Cingkarabala dan Balaupata terus mengejar dan memasuki wilayah kahyangan Suralaya. Sosok bayi itu seperti menggoda para pengejarnya, terkadang ia hinggap diantara dahan-dahan pohon kahyangan yang indah sehingga menyempurnakan ke-elokan taman kahyangan. Tingkah pola Cingkarabala dan Balaupata yang berkejar-kejaran seperti anak kecil yang sedang menangkap seekor capung itu sempat terlihat oleh Hyang Ismaya, Antaga dan Narada. Ketiganya lalu mendatangi Cingkarabala dan Balaupata, saat mereka mendekati dua raksasa penjaga gerbang Selamatangkep barulah mereka memahami apa yang sedang dilakukan dua raksasa itu. Baik Hyang Ismaya, Hyang Antaga dan Batara Narada sama-sama takjub melihat sosok bayi indah yang berwujud halus, bayi itu sekonyong-konyong mendekati mereka bertiga, Ismaya mencoba menangkap tapi yang tertangkap hanya ruang kosong, begitu juga dengan Hyang Antaga dan Batara Narada. Petruk dan Gareng pun ikut mencoba menangkap tapi sia-sia. Sosok bayi halus itu masih terus mempermainkan mereka, selanjutnya lama kelamaan terbang menjauh dan hilang dari pandangan mata mereka.

Belum selesai diantara mereka membicarakan kejadian aneh yang baru saja terjadi, tiba-tiba datang dua orang manusia pria dan wanita. Yang pria berbusana mewah memperkenalkan diri sebagai Prabu Umaran, bangsawan dari negeri Merut dan yang wanita adalah istrinya bernama Dewi Nurweni. Bangsawan dari negeri Merut itu menjelaskan bahwa mereka tengah mengejar sosok bayi dengan wujud halus yang terbang melayang-layang hingga membawa mereka ke puncak Tengguru. Mereka mengakui bahwa bayi itu adalah putri mereka yang semenjak lahir wujudnya sudah berupa ‘akyan’ (jasad halus) dan lalu terbang meninggalkan kediaman mereka. Hyang Ismaya dan Antaga menyarankan kepada Batara Narada untuk melaporkan peristiwa itu kepada Hyang Manikmaya, dan agar Prabu Umaran juga Dewi Nurweni dipertemukan dengan Hyang Manikmaya. Mereka lalu menghadap Sang Hyang Manikmaya di istana Jonggring Salaka. Prabu Umaran memohon pertolongan Hyang Manikmaya untuk menangkap bayi anaknya. Sang Hyang Manikmaya menyanggupinya, ia mencoba akan membantu menangkap bayi itu dan akan menyerahkannya kepada Prabu Umaran dan Dewi Nuweni.
Dengan mengendarai lembu Andini, Hyang Manikmaya terbang meninggalkan kahyangan Suralaya. Mereka melintasi daratan dan lautan mencari sosok bayi putri Prabu Umaran. Menjelang malam hari, di angkasa raya Hyang Manikmaya melihat titik cahaya yang sedang melayang-layang, cahayanya bagaikan bintang timur yang bersinar di musim panas, elok dan indah dipandangan mata. Hyang Manikmaya menyuruh lembu Andini untuk mendekatinya, dan ketika terlihat lebih dekat tampaklah kalau cahaya yang berkedip bersinar itu adalah sosok bayi yang sedang terbang melayang-layang. Hyang Manikmaya tidak salah menduga bahwa bayi itu tidak lain adalah bayi yang dimaksudkan oleh Prabu Umaran. Bayi itu mendekati Hyang Manikmaya, putra Hyang Tunggal pun mencoba menangkapnya tapi tidak berhasil. Hyang Manikmaya merasa heran bercampur takjub beberapa kali dia mencoba menangkap tapi tidak berhasil, dan ketika sosok bayi itu mencoba menjauh Hyang Manikmaya mengejarnya. Dua sosok melayang-layang diangkasa diantara gelap dan terangnya gugusan sinar bintang dan rembulan. Tertangkap dalam pelukan tetapi hilang, teraih dalam genggaman tetapi kosong. Sang Hyang Manikmaya lalu bersemedi memohon petunjuk kepada ayahandanya untuk dapat menangkap bayi tersebut. Sang Hyang Tunggal memberi petunjuk bahwa untuk menangkap bayi itu harus dipegang pergelangan tangan dan kakinya secara bersamaan, dan untuk melakukan itu Hyang Manikmaya harus merelakan tangannya bertambah dua, sehingga tangan Manikmaya nantinya akan menjadi empat. Dan dengan demikian kutukan terdahulu akan dijalani oleh Manikmaya sebagai seorang Shiwa.

Setelah berubah tangannya menjadi empat, Hyang Manikmaya kembali mengejar sosok bayi ajib anak dari Prabu Umaran. Kini dengan keempat tangannya Hyang Manikmaya dapat menangkap pergelangan tangan dan kaki bayi itu secara bersamaan, dan tatkala masing-masing pergelangan tangan dan kaki bayi terpegang oleh Manikmaya, seketika itu juga sosok ‘akyan’ (wujud halus) bayi hilang dan berubah menjadi wujud jasad wadag seorang gadis jelita berparas cantik rupawan. Kaget bukan kepalang tetapi juga terpesona melihat kecantikannya. Selanjutnya, gadis itu dibawa oleh Hyang Manikmaya ke negeri Merut untuk diserahkan kepada Prabu Umaran dan Dewi Nurweni. Oleh mereka gadis itu diberi nama Uma. Dihadapan Prabu Umaran dan Dewi Nurweni, Hyang Manikmaya menyampaikan isi hatinya yang telah terpikat oleh Uma. Prabu Umaran dan Dewi Nurweni merestui, maka Dewi Uma pun dinikahkan dengan Hyang Manikmaya dan diboyong ke kahyangan Suralaya.

Geger Kahyangan 4 : Batara Narada



Syahdan di Negara Shindu Udal-udal yang menjadi raja adalah Sang Hyang Caturkaneka. Ia adalah putra dari Sang Hyang Darmajaka (Darmakaya) kakak kandung Sang Hyang Wenang, yang juga berarti saudara sepupu dengan Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Caturkaneka mempunyai seorang putra yang bernama Sang Hyang Kanekaputra. Ia adalah seorang kesatria dewa yang berparas cakap rupawan dengan kelebihan berbagai ilmu pengetahuan dan kesaktian ditambah kecerdasan yang menjadikan Sang Hyang Kanekaputra adalah seorang anak yang sangat dibanggakan oleh kedua orang tuanya, juga bangsanya. Namun kepandaian ilmu dan keluasan pengetahuan terkadang menjadi cobaan bagi setiap insan yang mendapatkan keistimewaan karunia tersebut, begitu juga dengan Hyang Kanekaputra. Dihadapan Ayahandanya, Hyang Kanekaputra mengutarakan keinginannya yang selalu tersirat dalam hati dan pikirannya untuk menjadi seorang penguasa Triloka (dunia ketiga). Sebenarnya Sang Hyang Caturkaneka melarang keinginan putranya itu. Ia memberi nasehat kepada putranya bahwa seseorang yang memiliki keluhuran ilmu dan kepandaian, sejatinya tidak akan pernah hilang walaupun ia tidak menjadi seorang penguasa atau pemimpin. Dan apalagi kedudukan sebagai Raja Tribuana telah dimandatkan oleh Sang Hyang Tunggal dan para leluhurnya kepada Sang Hyang Manikmaya, alangkah lebih baik jika Hyang Kanekaputra membantu Hyang Manikmaya dalam menjalankan tugas dan baktinya yang telah diemban sebagai seorang kalifah di kadeatan Suralaya nanti. Walau pun Hyang Caturkaneka mencoba untuk mengarahkan jalan yang lebih baik kepada putranya, namun ia sangat paham akan perwatakan putranya yang berpendirian keras. Lagi pula putranya beralasan bahwa, ia hanya ingin menguji sampai dimana kepandaian dan kesaktian Manikmaya sehingga diangkat menjadi raja Tribuana, dan kalau memang Hyang Manikmaya teruji kesaktiannya, maka ia tidak segan-segan untuk mengabdikan diri kepada Manikmaya. Mendengar alasan itu Sang Hyang Caturkaneka mengijinkan keinginan putranya. Setelah mendapat restu dari ayahandanya, Sang Hyang Kanekaputra kemudian pergi meninggalkan negeri Shindu. Ia terbang melintasi daratan dan lautan menuju Suralaya. Di tengah perjalanan Hyang Kanekaputra berubah pikiran, ia berpikir lebih baik mengundang Hyang Manikmaya dari pada dirinya yang harus datang ke Suralaya. Maka, Sang Hyang Kanekaputra lalu duduk di atas lautan samudralaya, mengheningkan cipta bermujasmedi mengolah rasa.

Puncak Tengguru diliputi awan hitam kelam. Candradimuka menggelegar-gelegar memuntahkan lahar dan api panasnya. Saat itu juga kahyangan Suralaya dihampar hawa panas, menyebabkan para penghuninya merasa was-was, ada apa gerangan yang bakal terjadi? Hyang Manikmaya dengan aji Pengabarannya mencari tahu apa gerangan yang menjadi penyebab mengamuknya kawah Candradimuka. Melalui kesaktiannya itu Manikmaya akhirnya mengetahui apa dan siapa dibalik peristiwa tersebut. Ia kemudian memutuskan untuk mendatangi Sang Hyang Kanekaputra di samudralaya.
Nun jauh di tengah samudralaya, Manikmaya melihat seberkas sinar yang memancar dari sosok seorang kesatria dewa yang sedang melakukan tapabrata. Pancaran sinarnya mampu meredam gelombang ombak yang bergemuruh di tengah lautan, tubuhnya tidak sedikit pun basah oleh air laut. Manikmaya kagum dengan kesaktian kesatria rupawan yang tidak lain adalah Sang Hyang Kanekaputra. Lalu Sang Hyang Manikmaya membangunkan dan menanyakan maksud dari tapabrata Kanekaputra yang telah mengguncangkan kawah Candradimuka. Yang ditanya tetap diam, membisu dan masih memejamkan mata. Hyang Manikmaya kembali menggugah dan menanyakannya. Yang ditanya masih saja diam, membisu dan masih tetap memejamkan mata. Hyang Manikmaya merasa kesal karena pertanyaannya tidak dijawab, ia lalu berniat mengeluarkan pusaka dewata untuk mengugahnya, tapi sebelum niat Manikmaya terlaksana tiba-tiba sepasang mata itu terbuka dan tertawa. Ia menertawakan sifat Manikmaya yang dianggap tidak memiliki kesabaran. Manikmaya kembali bertanya tentang maksud dan tujuan dari tapabrata tersebut. Sebelum menjawab pertanyaan dari yang Manikmaya, Sang Hyang Kanekaputra lebih dulu memperkenalkan jatidirinya sehingga Manikmaya kini tahu bahwa kesatria dewa tersebut adalah masih keturunan Hyang Nurrasa, salah satu leluhurnya.
Sang Hyang Kanekaputra melanjutkan dengan menjawab maksud dan tujuannya melakukan tapabrata adalah tidak lain untuk mengundang Hyang Manikmaya dan menyampaikan keinginannya menjadi kalifah ing dewa (Raja Tribuana). Mendengar itu, Hyang Manikmaya lalu mengatakan bahwa untuk menjadi seorang Raja Tribuana haruslah memiliki kepandaian dan kesaktian yang dapat diandalkan hingga nantinya akan dapat mempertanggungjawabkan tugas yang akan diemban kelak. Maka, Keduanya lalu saling mengadu pengetahuan dengan saling memberikan pertanyaan dan jawaban. Sang Hyang Kanekaputra memang seorang ahli dalam ilmu pengetahuan, kepandaiannya sangat luar biasa sehingga semua pertanyaan Hyang Manikmaya dapat ia jawab. Dan saat Hyang Manikmaya menanyakan tentang sifat tertua yang tertanam pada diri manusia semenjak lahir, Hyang Kanekaputra mampu menjawabnya dengan cemerlang bahwa sifat tertua yang ada pada diri manusia semenjak lahir adalah sifat ‘keinginan’, karena semenjak manusia dilahirkan di alam dunia, ia sudah berkeinginan. Seperti bayi manusia yang dilahirkan dalam keadaan menangis, ia sudah mempunyai keinginan, hanya saja manusia dewasa saat itu tidak mampu menterjemahkan keinginan yang disuarakan lewat tangisan bayinya.
Hyang Manikmaya mengagumi kecerdasan dan ilmu pengetahuan Hyang Kanekaputra, maka sebagai ujian terakhir adalah mengadu kesaktian. Hyang Kanekaputra menantang Manikmaya, apabila Hyang Manikmaya dapat menggeser tubuhnya dari keadaan duduk sempurna tapabrata di atas laut, maka ia mengaku kalah dan bersedia mengabdi kepada Hyang Manikmaya. Akan tetapi apabila Hyang Manikmaya tidak mampu melakukannya, maka Hyang Manikmaya harus menyerahkan tahta Jonggring Salaka kepada dirinya. Sang Hyang Manikmaya menerima tantangan, ia pun segera menyiapkan aji Kemayan dan kemudian keduanya beradu kesaktian secara batiniah. Larikan sinar berkelebatan diantara dua sosok manusia dewa yang sedang bertarung batin di atas samudralaya. Beberapa saat kemudian seiring dengan derunya gelombang ombak, Hyang Kanekaputra yang tidak sanggup melawan keampuhan aji Kemayan seakan ada sesuatu yang membetot paksa seluruh kesaktiannya keluar dari garbanya. Tubuhnya terasa lemas tak berdaya dan akhirnya terjebur masuk kedalam laut. Ia timbul tenggelam dilautan dan ia mengakui kekalahannya. Hyang Manikmaya lalu memulihkan kembali kesaktian Hyang Kanekaputra dan sejak saat itu Hyang Kanekaputra mengabdi kepada Hyang Manikmaya, ia mendapat gelar batara dan diberi jabatan sebagai kebayan ing dewa yang artinya adalah manusia dewa kedua setelah Raja Tribuana di kahyangan Suralaya, atau istliah lainnya adalah Mahapatih.
Pada hari-harinya di Suralaya, Sang Hyang Kanekaputra atau juga Batara Kanekaputra sangat gemar berjenaka. Ia seorang yang periang dan sangat suka bersendawan dengan Hyang Ismaya dan Hyang Antaga, namun kekurangannya adalah terkadang Hyang Kanekaputra tidak bisa membatasi sifat berkelakarnya. Bercandanya kadang keterlaluan, melampaui batas dengan ejekan-ejekan yang dianggapnya sebagai lelucon. Suatu hari Hyang Manikmaya merasa tersinggung ketika melihat Batara Kanekaputra meng-olok-olok Hyang Ismaya dan Hyang Antaga. Perlakuannya dianggap sudah melampuai batas bercanda, maka Hyang Manikmaya pun bersabda bahwa Batara Kanekaputra sebenarnya lebih pantas berpenampilan seperti mereka, sebab ke-elokan dan tingkah laku Kanekaputra dianggap tidak sepadan. Sekecap nyata, Batara Kanekaputra berubah wujud menjadi pendek, gemuk dan cebol. Melihat perubahan tubuhnya, Hyang Kanekaputra menangis meminta maaf kepada Manikmaya, tetapi semuanya sudah terlanjur. Hyang Manikmaya pun meminta maaf kepada Kanekaputra bahwa dirinya tidak dapat merubah lagi bentuk rupa Kanekaputra. Hyang Ismaya dan Antaga menasehati Kanekaputra untuk dapat menerima cobaan tersebut dengan kelapangan jiwa. Dan kepada Manikmaya mereka pun menasehati agar tidak gegabah dalam menyabdakan Kawrastawam yang bercampur dengan nafsunya, sehingga nantinya akan menjadi malapetaka yang akan merugikan banyak orang. Sejak saat itu Hyang Kanekaputra lebih dikenal dengan nama barunya yaitu Batara Narada.

Geger Kahyangan 3 : Gareng Dan Petruk


Hari-hari selanjutnya kahyangan Suralaya digegerkan lagi oleh kedatangan dua jin yang bernama Mercukilan dan Mercukali. Mercukilan berperawakan tinggi jangkung dengan hidung panjang seperti burung pelatuk dan kepalanya berkuncir, sedangkan Mercukali berperawakan pendek berhidung besar bulat seperti buah tomat, kepalanya juga sama berkuncir. Keduanya bertingkah jenaka tapi sering sekali menyombongkan diri. Apalagi setelah keduanya sanggup mengalahkan Cingkarabala dan Balaupata sehingga kedua duruwiksa penjaga gerbang Selamatangkep itu harus lari tunggang langgang menghadap Sang Hyang Jagatnata (Manikmaya) di istana Jonggring Salaka. Sang Hyang Manikmaya lalu menghadapi Mercukilan dan Mercukali menanyakan maksud kedatangan mereka. Kedua jin itu dengan sombongnya meminta Manikmaya menyerahkan kahyangan Suralaya kepada mereka berdua. Mereka mengaku merasa lebih pantas menguasai Triloka dibandingkan Manikmaya yang hanya perwujudan ‘akyan’ (jasad halus). Sang Hyang Manikmaya yang sudah pasti menolak permintaan kedua jin itu, maka mereka pun melakukan perang tanding. Mercukilan dan Mercukali memiliki kesaktian-kesaktian gaib, gerakan mereka sangat gesit sehingga Sang Hyang Manikmaya merasa kesulitan menghadapinya. Begitu juga dengan Mercukilan dan Mercukali, keduanya tidak sanggup mengalahkan kesaktian Manikmaya. Pertempuran diantara mereka cukup dahsyat walaupun kedua jin itu bertempur secara semrawutan, terkesan bercanda atau memang sengaja meremehkan lawannya. Hal itu membuat Manikmaya merasa kesal, ia seperti sedang dipermainkan oleh kedua musuhnya, maka ia pun memutuskan untuk menyelesaikan pertempuran dengan menyiapkan aji Kemayan agar musuh-musuhnya dapat segera dibinasakan, tapi sebelum Manikmaya merapal kesaktiannya, Hyang Ismaya dan Antaga datang menghampiri. Hyang Ismaya melarang Manikmaya menggunakan aji Kemayan, dan membiarkan dirinya untuk menghadapi kedua bangsa jin tersebut.

Melihat Hyang Ismaya perutnya buncit, pantatnya besar, kepalanya berkuncung, dan giginya cuma satu menghiasi mulut, Mercukilan dan Mercukali saling berbisik lalu terkekeh-kekeh menertawakan. Dengan sombongnya, mereka menganggap suruhan Manikmaya itu tidak lebih dari dua duruwiksa penjaga gerbang Selamatangkep yang dapat mereka kalahkan dengan sangat mudah. Hyang Ismaya sebenarnya menyukai tingkah jenaka Mercukilan dan Mercukali, tetapi ia tidak menyukai sifat-sifat sombongnya. Ismaya mengingatkan kepada dua jin itu agar tidak selalu meremehkan dan menghina orang lain, sebab wujud mereka pun tidak lebih dari keadaannya. Mercukilan dan Mercukali tidak menggubris kata-kata Hyang Ismaya, keduanya segera menerjang, akan tetapi Hyang Ismaya yang sudah siap menghadapi keduanya, menyambut serangan mereka. Pertempuran mereka tidak berlangsung lama, sebab Hyang Ismaya sendiri bertempur lebih semrawut dibandingkan kedua musuhnya. Mercukilan dan Mercukali jatuh bangun menghadapi Hyang Ismaya, keduanya tersungkur setelah ditabrak oleh Hyang Ismaya, lalu oleh Hyang Ismaya kedua kuncir kepala kedua jin itu ditangkap sehingga mereka menjerit-jerit memohon ampun. Hyang Ismaya memantrai mereka dengan aji Kawrastawam (kawaspadan cipta). Seketika wujud Mercukilan dan Mercukali berubah, wajah mereka yang sebelumnya agak menyeramkan berubah menjadi seperti rakyat jelata yang polos. Mereka berdua kemudian diampuni dan diangkat anak oleh Hyang Ismaya. Mercukilan namanya diganti menjadi Petruk sedangkan Mercukali diganti namanya menjadi Gareng.

Geger Kahyangan 2 : Lembu Andini



Prabu Pattanam raja bangsa dedemit di Dahulagiri mempunyai tiga putra yaitu, Andini (Andana), Cingkarabala dan Balaupata. Ketiga putra Prabu Pattanam ini berkeinginan menjadi raja Triloka dengan maksud ingin merebut kahyangan Suralaya dari tangan Sang Hyang Manikmaya.
Andini (Andana) adalah putra Prabu Pattanam yang tersulung, wujudnya berupa lembu dengan bulunya yang kuning keemasan, sedangkan Cingkarabala dan Balaupata berwujud raksasa kembar bersenjatakan alugora (gada). Setelah mendapat restu dari ayahandanya, mereka lalu berangkat menuju puncak Tengguru (kahyangan Suralaya). Cingkarabala dan Balaupata naik di punggung Andini. Lembu berwarna bulu kuning keemasan itu melesat ke angkasa raya bagaikan kilat tatit. Namun sebelum mereka sampai ke puncak Tengguru, di angkasa raya mereka telah dihadang oleh Sang Hyang Manikmaya. Melalui aji Pengabaran, Raja Tribuana itu telah waspada sebelumnya akan kedatangan mereka yang ingin menyerang kahyangan Suralaya, maka di angkasa mereka pun bertempur.
Cingkarabala dan Balaupata

Andini yang sakti dapat mengeluarkan semburan api dari mulutnya, sedangkan Cingkarabala dan Balaupata kedua senjata mereka yang berbentuk alogora menggelegar seperti halilintar. Namun kesaktian mereka tidak setara dengan Sang Hyang Manikmaya. Cingkarabala dan Balaupata ambruk luruh ke bumi terkena pukulan tumbak pusaka Trengganaweni. Andini sendiri tidak berkutik, tubuhnya pun sama luruh terkena aji Kemayan yang dijapa oleh Sang Hyang Manikmaya. Ketiga putra prabu Pattanam tidak berdaya menghadapi kesaktian Sang Hyang Manikmaya, mereka mengaku takluk dan ingin mengabdi kepada Manikmaya. Ketiganya diampuni dan diterima oleh Sang Hyang Manikmaya, maka saat itu juga ketiga putra Prabu Pattanam masing-masing diberi tugas. Andini yang berwujud lembu dan mempunyai kecepatan yang sangat luar biasa dijadikan kendaraan pribadi Sang Hyang Manikmaya, sedangkan Cingkarabala dan Balaupata diberi tugas menjadi penjaga pintu gerbang Selamatangkep (pintu gaib kahyangan Suralaya).

Geger Kahyangan 1 : Kalamercu


Setelah beberapa kejadian semenjak pertikaian Sang Hyang Antaga Dan sang Hyang Ismaya berebut tahta , kemudian naiknya Sang Hyang Manikmaya , terus perebutan Pusaka Jamus Kalimasada dari Sang Hyang Rudra , maka wibawa Sang Hyang Manikmaya makin turun , dari hasil survey menunjukkan bahwa kepercayaan penghuni jagad semesta makin turun, mereka menilai Sang Hyang Manikmaya mengggunakan cara cara licik agar bisa menjadi penguasa kahyangan , bahkan beberapa kerajaan bawahan dan petinggi mulai menunjukan sikap akan melakukan pemberontakan.

Alkisah Prabu Ditya Kalamercu yang merupakan raja Jin dan siluman dari kerajaan Tunggul Wesi yang juga punya ambisi untuk menjadi penguasa Tri Buana Loka , merasa bahwa dia lebih mampu daripada Sang Hyang Manikmaya segera mengumpulkan Balatentaranya untuk menyerang kahyangan Tengguru Candradimuka menggelegar mengeluarkan awan panas dari puncaknya , ini adalah pertanda kalau akan terjadi sesuatu peristiwa di kahyangan Tengguru. Sang hyang Manikmaya segera meminta kepada Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya untuk bersiap siap menghadapi kejadian yang akan terjadi. Mereka segera keluar dari Kahyangan , menyambut kedatangan musuh yang tak lain adalah Prabu Ditya Kalamercu dan bala tentaranya , ini dilakukan agar peperangan tidak merusak kondisi Kahyangan Tengguru yang sedang dalam tahap pembangunan dan renovasi.

Pertempuran pun terjadi ketika kedua belah pihak saling berhadapan. Prabu Kalamercu berhadapan langsung dengan Sang Hyang Manikmaya, sedangkan puluhan ribu bala tentaranya bertempur melawan Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga. Pertempuran seperti tidak berimbang, namun karena Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga mempunyai kesaktian yang luar biasa, maka serangan bala tentara pasukan Prabu Kalamercu dapat dihadapi. Bahkan sebaliknya pasukan Prabu Kalamercu kualahan menghadapi dua kesatria dewa yang tampangnya kini tidak berbeda dengan bangsa dedemit itu. Korban berjatuhan di pihak bala tentara Detya Kalamercu. Mereka jatuh bertumbangan, ada yang terbakar api, ada yang tersapu badai, dan terjilat hangus halilintar yang disebabkan oleh kesaktian Hyang Ismaya dan Hyang Antaga.

Sementara itu Sang Hyang Manikmaya perang tanding dengan Prabu Detya Kalamercu. Keduanya saling terjang, saling pukul dan saling beradu kekuatan yang masing-masing dilambari aji-aji kesaktian. Petir menggelegar, api berkobar, sesaat lalu badai angin dan hujan berbaur menyapu seluruh pelataran bumi tempat pertarungan mereka. Prabu Detya Kalamercu sangat sakti mandraguna sehingga Hyang Manikmaya harus mengeluarkan pusaka-pusaka Kadewatan untuk melawannya, tapi kehebatan pusaka Hyang Manikmaya tidak membuat gentar Prabu Detya Kalamercu. Raja Jin itu sangat sukar untuk dibunuh, bahkan tumbak pusaka Trengganaweni dan tumbak Kalaminta milik Hyang Otipati yang konon dapat meluluh lantakan gunung, tetap tidak mampu mencederai raja Jin itu.

Pada pertempuran selanjutnya, Sang Hyang Manikmaya terdesak mundur, ia keteteran menghadapi serangan dan terjangan Detya Kalamercu hingga suatu ketika Manikmaya terjebak di salah satu lereng gunung yang berbatu cadas. Tubuhnya dilemparkan oleh Prabu Kalamercu dan menghantam bebatuan cadas. Hyang Manikmaya ambruk bersama reruntuhan batu-batu gunung, dan salah satu kakinya terhimpit batu-batu cadas yang besarnya sebesar gajah. Setelah memukul hancur batu yang menghimpit kakinya, Hyang Manikmaya terkejut saat melihat kakinya menjadi kecil sebelah. Ia teringat kutukan ayahandanya, bahwa kakinya akan menjadi kecil sebelah dan menjadi lemah, maka namanya kini bertambah menjadi Sang Hyang Lengin.
Sang Hyang Manikmaya menjadi murka atas kejadian itu, maka ia pun kemudian merapal aji Kemayan untuk menaklukan musuhnya. Prabu Detya Kalamercu tidak sanggup melawan kekuatan aji Kemayan yang dijapa oleh Manikmaya. Tubuhnya lunglai seperti tidak bertulang, kesaktiannya seperti sirna, ia pun ambruk di palagan yuda. Detya Kalamercu menggerung menjerit-jerit minta ampun. Ia berjanji tidak akan melakukan penyerangan lagi terhadap kadewatan Suralaya. Sang Hyang Manikmaya lalu mengampuni Prabu Detya Kalamercu, tetapi sebagai pelajaran untuk raja Jin itu, maka Hyang Manikmaya menghanguskan seluruh balatentara siluman Kalamercu yang masih tersisa. Ia mendatangi tempat pertempuran antara pasukan Siluman dan kedua saudaranya. Seketika setelah Hyang Manikmaya menjapa mantra kembali aji Kemayan, ribuan Jin dan Siluman pun hangus terbakar seketika. Dan lalu bangkai-bangkai siluman yang hangus itu oleh Hyang Manikmaya dicipta dengan aji Kawrastawam (kawaspadan cipta) hingga menjadi bebatuan yang menjalar sepanjang jalan dari kadewatan Suralaya menuju kawah Candradimuka, jalan itu kemudian diberinama Balagadewa.
Kini Detya Kalamercu dipulihkan kembali oleh Hyang Manikmaya, dan sebagai tanda kesetiaan Detya Kalamercu, raja Jin itu mempersembahkan damper kencana Mercupunda (singgasana emas yang bertaburkan mutiara)


Pusaka Jamus Kalimasada


Setelah acara penobatan Sang Hyang Manikmaya menjadi penguasa Tribuana , dan acara pernikahan Batara Ismaya juga sudah selesai , maka Sang Hyang Tunggal dan kedua istrinya pun muksa dan berpindah ke swarga sunyaruri , untuk sementara Sang Hyang Manikmaya didampingi kedua kakaknya dalam menata Kahyangan Suralaya sebelum  mereka berdua turun ke marca pada untuk menjalani hukumannya.

Sementara itu penghuni kahyangan Suralaya semakin lama semakin banyak dengan keberadaan para bidadara - bidadari , dan juga hapsara hapsari yang bertugas merawat Kahyangan Suralaya dan istana Jonggring Saloka , untuk itu maka dibuatkanlah beberapa kahyangan lagi yang pertama kahyangan untuk Batara dan Batari , dibawahnya untuk Dewa - dewi , kemudian untuk bidadara - bidadari dan terakhir untuk hapsara- hapsari yang disebut juga kahyangan Suralaya, semua kahyangan itu adad dibawah Kahyangan Manik Maninten tapi diatas kahyangan Setra Ganda Layu. Dan karena para penghuni setra ganda layu sering naik turun seenaknya , maka di Kahyangan Suralaya dibuatkanlah pintu gerbang Sela Matangkep .

Walaupun Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya sudah ikhlas dengan penobatan Sang Hyang Manikmaya sebagai penguasa Tribuana Loka , namun Sang Hyang Manikmaya masih belum tenang , ini dikarenakan sebenarnya masih ada Sang Hyang Rudra , anak sulung Sang Hyang Wenang dari Batari Darmani yang juga berhak atas jabatan tersebut, walaupun tidak ada tanda tanda Sang Hyang Rudra menginginkan jabatan penguasa Tribuana Loka , tapi keberadaan Sang Hyang Rudra tetap menjadi beban pikiran , karena semua sudah tahu bahwa Sang Hyang Rudra keras hati , cepat marah dan mudah diprovokatori.

Ketakutan itu cukup beralasan karena Pusaka Jamus Kalimasada yang dititipkan Sang Hyang Tunggal kepada Sang Hyang Rudra belum juga diserahkan ke Sang Hyang Manikmaya, padahal pusaka Jamus Kalimasada itu merukaman pusaka yang membawa kewibawaan dan menjadi hak bagi para penguasa Kahyangan sebelumnya. Akan tetapi untuk memintanya sendiri Sang Hyang Manikmaya tidak mempunyai keberanian , karena kesaktian Sang hyang Rudra ada diatas kesaktiannya , kecuali jika Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya mau membantunya . Tidak ada cara lain selain mengadu domba kakak kakaknya , karena jika meminta bantuan baik baik pasti kedua kakaknya itu tidak mau membantu karena mereka sangat menghormati dan menyayangi Sang Hyang Rudra .

Dihadapan Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga ia menceritakan kegelisahan hatinya, yaitu keberadaan kahyangan Keling yang telah dianggap akan menandingi kahyangan Suralaya. Sang Hyang Manikmaya juga menghasut kedua saudaranya, bahwa Sang Hyang Rancasan berkeinginan merebut Suralaya dan ingin menjadi raja Tribuana. Selain itu, Hyang Manikmaya bercerita juga tentang sebuah pusaka yang konon dikeramatkan oleh leluhur mereka. Pusaka yang sangat luar biasa, tidak tertandingi oleh pusaka-pusaka lainnya di jagat pramuditya, pusaka Jamuslayang Kalimasada.
Menurut Hyang Manikmaya, Jamuslayang Kalimasada sebenarnya diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur mereka, tapi kemudian oleh ayahanda mereka dititipkan kepada putra Hyang Rancasan sebagai puytra yang tersulung sebelum ayahanda mereka melakukan tapa brata dan terdampar di negeri Samudralaya. Menurut Sang Hyang Manikmaya pusaka tersebut bukanlah dianugerahkan atau diwariskan kepada Hyang Rancasan, sifatnya hanya ditipkan untuk sementara waktu.

Awalnya Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga tidak terpancing oleh pengaduan Sang Hyang Manikmaya, namun karena kecerdikan Sang Hyang Manikmaya dalam menghasut, maka Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga pada akhirnya berubah pikiran setelah mendengar kisah pusaka Jamuslayang Kalimasada. Mereka lalu sepakat untuk bertandang ke kahyangan Keling (negeri Selong) guna meminta kembali pusaka Kalimasada yang dianggap telah ditipkan ayah mereka kepada kakak sulungnya.


Setibanya di kahyangan Keling, Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Manikmaya langsung menghadap kakak sulungnya. Sang Hyang Rudra / Sang Hyang Rancasan yang bergelar Sang Hyang Dewa Esa menyambut baik kedatangan ketiga adiknya itu, mereka lalu terlibat pembicaraan.


Dalam percakapan selanjutnya diantara mereka, Sang Hyang Manikmaya meminta pusaka Jamuslayang Kalimasada dengan alasan untuk disemayamkan di Jonggring Salaka sebagai pusaka kadewatan, karena dirinya telah dinobatkan menjadi raja Tribuana di Suralaya. Dengan halus Sang Hyang Rancasan menolak, ia menganggap pusaka itu adalah amanat leluhur yang harus ia jaga & dipertanggung jawabkan amanatnya. Sang Hyang Manikmaya menuduh sulungnya telah melawan keputusan ayahanda mereka yang telah menobatkan dirinya sebagai raja Tribuana. Perbincangan berganti dengan perdebatan, dan akhirnya Sang Hyang Manikmaya menantang Sang Hyang Rancasan untuk mengadu kesaktian. Perang tanding pun tidak terelakan lagi diantara mereka.

Bumi gonjang-ganjing, marcapada kembali diguncang oleh nafsu angkara murka putra-putra Sang Hyang Tunggal. Gunung-gunung menggelegar mengeluarkan laharnya, bukit-bukit longsor bermuragan. Perang tanding terjadi antara Hyng Manikmaya dengan Hyang Rancasan. Keduanya saling mengadu kedigjayaan dan saling memamerkan aji-aji kesaktian. Namun dalam perang tanding itu, terlihat Sang Hyang Rancasan lebih unggul dibandingkan Sang Hyang Manikmaya. Beberapa kesaktian dan pusaka-pusaka kadewatan milik Manikmaya tidak mampu menghadapi kesaktian dan kedigjayaan Sang Hyang Rancasan. Saat Sang Hyang Manikmaya bertiwikrama menjadi berhala sewu, Hyang Rancasan tidak kalah hebat, ia bertiwikrama lebih besar dari raksasa jelmaan Hyang Manikmaya. Begitu seterusnya, setiap Manikmaya masuk ke dalam perut bumi, Hyang Rancasan ada dibelakangnya. Dan setiap Manikmaya berdirgantara di angkasa, Rancasan pun selalu ada di belakangnya. Manikmaya keteteran menghadapi kesaktian Hyang Rancasan, maka Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya segera terjun ke palagan yuda demi membantu Manikmaya, keduanya langsung menerjang Sang Hyang Rancasan. Mereka menyerang secara serempak dari segala penjuru, ada yang menyerang dari arah depan saling berhadapan, ada yang menyerang dari belakang, dari angkasa dan dari bawah bumi.

Perang kejayaan diantara mereka menggemparkan marcapada. Terjadi hujan badai, angin prahara, halilintar dan kobaran api yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan gaib mereka hingga menghancurkan kahyangan Keling dan meluluh lantakan bumi Selong. Dan hingga pada akhirnya, Sang Hyang Rancasan pun dapat dikalahkan , Pusaka Jamus Kalimasada pun diberikan kepada Sang Hyang Manikmaya , dan Sang Hyang Rudra pun pergi meninggalkan Kahyangan Keling menuju ke Marcapada , disana dia mendirikan Kerajaaan Gilingaya , tetapi sebelum pergi 
Sang Hyang Rancasan yang tidak menerima perlakuan saudara-saudaranya. Ia mengancam, kelak disuatu hari akan menuntut balas atas perbuatan mereka. Ia akan selalu membayang-bayangi kekuasan Manikmaya dan akan selalu mengikuti langkah Ismaya juga Antaga di marcapada. Ketiganya tertegun mendengar ancaman dari ruh Hyang Rancasan. Kesadaran dan penyesalan selalu berada diakhir kisah setelah semuanya terjadi, terlebih lagi perbuatan mereka telah mengusik ketenangan Sang Hyang Tunggal di swargaloka sunyaruri. Sang Hyang Tunggal dalam wujud suara tanpa rupa mengutuk perbuatan Manikmaya yang telah menghasut kedua saudaranya hingga menyerang  kakak sulung mereka. Kelak Hyang Manikmaya akan menerima karmanya, yaitu kakinya akan menjadi kecil sebelah dan lemah, maka dengan begitu ia akan mendapat julukan sebagai Sang Hyang Lengin. Giginya akan bertaring sebesar buah randu dan dinamakan Sang Hyang Randuana. Tangannya akan bertambah menjadi empat dan akan mendapat nama Syiwa, dan yang terakhir dalam perjalanannya nanti tubuhnya akan terbakar oleh racun ganas sehingga menjadi biru, maka namanya pun bertambah menjadi Sang Hyang Nilakanta.

Sang Hyang Manikmaya tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya pasrah menerima kutukan dari ayandanya, begitu juga dengan Sang Hyang Ismaya dan Antaga. Perihal pusaka yang diperebutkan itu kini telah diambil kembali oleh Sang Hyang Tunggal dan pada saatnya nanti pusaka itu akan diwariskan kepada para kesatria marcapada yang sanggup mengembannya, Jamuslayang Kalimasada.

Keturunan Batara Ismaya


Setelah kejadian itu kahyangan suralaya pun bersiap untuk melakukan upacara penobatan Sang Hyang Manikmaya sebagai penguasa Tribuana Loka , Batara Antaga dan Batara Ismaya pun terlihat sibuk membantu segala persiapannya. Tetapi ada guratan kesedihan dan kecemasan di wajah putra kedua Sang Hyang Tunggal tersebut.
Sebagai seorang ayah , Sang Hyang Tunggal pun bisa merasakan apa yang dipikirkan putranya tersebut , maka dipanggillah Sang Hyang Ismaya.
" Ngger , anakku Ismaya , kenapa kamu , seperti ada yang kamu sembunyikan ? "
Sang Hyang Ismaya hanya diam sambil tersenyum .
"Kamu takut gak laku yha ngger , karena sekarang kamu sudah gak sebagus dulu "
Sang Hyang Ismaya tersenyum malu , apa yang dia cemaskan ternyata diketahui oleh ayahnya
" Gak usah khawatir ngger , Jodoh itu sudah ada yang ngatur , sebentar lagi kamu akan bertemu jodohmu , dan kamu akan  mendapatkan sepuluh anak. Sabar saja "
Sementara mereka lagi bercakap cakap datanglah Sang Hyang Wening , adik Sang Hyang Tunggal bersama putrinya Dewi Senggani.
"Membicarakan apa ini Kakang , kok serius sekali ? " tanya Sang Hyang Wening.
" Keponakanmu ini lho , lagi galau , takut gak ada yang mau nikah sama dia karena wajahnya jelek "
"Duh kakang Ismaya ini , memang wanita cari suami yang tampan , tidak kakang , yang dilihat itu hatinya " celetuk Dewi Senggani , yang dari dulu memang simpati dengan Batara Ismaya karena sifatnya yang baik , tidak sombong , dan sabar.
Ismaya cuma cengengesan, wajahnya bersemu merah.
" Lha kamu mau to nduk sama kakangmu ?" tanya Sang Hyang Tunggal.
Malu- malu Dewi Senggani mengangguk .
Akhirnya mereka pun bersepakat untuk segera melakukan pernikahan setelah acara penobatan Batara Manikmaya sebagai penguasa Tribuana selesai.

Singkat cerita setelah usai acara penobatan , maka dilangsungkan pula pernikahan Batara Ismaya dengan Dewi Senggani , dimana seperti yang sudah disabdakan , pasangan itu mempunya 10 anak yaitu :
  1. Batara Wungkuhan , yang kemudian hari menjadi asisten Dewa Indra , membantu mengatur cuaca di alam dunia
  2. Batara Patuk / Temburu , yang kemudian bertugas sebagai juru tulis kahyangan , membantu tugas batara Narada
  3. Batara Kuwera , dikenal sebagai dewa kebaktian dan kemanusiaan
  4. Batara Wrehaspati , yang kemudian menjadi guru dari para dewa karena kesaktian dan kesabarannya
  5. Batara Dharma / Mahyati / Siwah , dikenal sebagai dewa kebijaksanaan
  6. Batara Surya , dewa matahari
  7. Batara Chandra , dewa bulan
  8. Batara Yamadipati , dewa kematian dan penjaga neraka
  9. Batara Kamajaya , dewa yang paling tampan di seluruh kahyangan bersama istrinya Dewi Kamaratih , menjadi perlambang kerukunan suami istri
  10. Dewi Darmastuti , yang kelak menjadi istri Resi Anggana / Bagaspati
Setelah acara penobatan Sang Hyang Manikmaya menjadi penguasa Tribuana , dan acara pernikahan Batara Ismaya juga sudah selesai , maka Sang Hyang Tunggal dan kedua istrinya pun muksa dan berpindah ke swarga sunyaruri , untuk sementara Sang Hyang Manikmaya didampingi kedua kakaknya dalam menata Kahyangan Suralaya sebelum  mereka berdua turun ke marca pada untuk menjalani hukumannya.

Sementara itu penghuni kahyangan Suralaya semakin lama semakin banyak dengan keberadaan para bidadara - bidadari , dan juga hapsara hapsari yang bertugas merawat Kahyangan Suralaya dan istana Jonggring Saloka , untuk itu maka dibuatkanlah beberapa kahyangan lagi yang pertama kahyangan untuk Batara dan Batari , dibawahnya untuk Dewa - dewi , kemudian untuk bidadara - bidadari dan terakhir untuk hapsara- hapsari yang disebut juga kahyangan Suralaya, semua kahyangan itu adad dibawah Kahyangan Manik Maninten tapi diatas kahyangan Setra Ganda Layu. Dan karena para penghuni setra ganda layu sering naik turun seenaknya , maka di Kahyangan Suralaya dibuatkanlah pintu gerbang Sela Matangkep .

Antaga Dan Ismaya


Waktu berjalan begitu cepat , ketiga putra Sang Hyang Tunggal sudah tumbuh dewasa , dan telah menguasai seluruh ilmu pengetahuan dan kesaktian juga mantra mantra yang dimiliki oleh Sang Hyang Tunggal , dan inilah saatnya Sang Hyang Tunggal lengser keparbon dan memilih salah satu diantara mereka untuk menjadi pewarisnya.
Agar para putranya bisa mandiri dan belajar untuk bisa menjadi seorang pemimpin maka diciptakanlah kahyangan Manik Maninten sebagai tempat tinggal mereka , sementara Sang Hyang Tunggal dan Istrinya kembali ke kahyangan alang alang kumitir atau juga disebut Kahyangan Suralaya dengan istananya yang bernama Jonggring Saloka.
Yang pertama berusaha keluar dari Kahyangan Manik Maninten adalah Sang Hyang Antaboga dia sering memamerkan ilmu kesaktiannya, terutama dalam hal penciptaan.
Tetapi justru sikapnya yang ingin pamer itu malah merugikan , sabda sabda  yang diharapkan bisa menghasilkan penciptaan berupa dewa - dewi atau para bidadara bidadari malah menciptakan roh roh halus dan lelembut yang jumlahnya makin lama makin bertambah banyak dan membutuhkan tempat maka sang hyang Tunggal pun menciptakan Kahyangan Setra Gandalayu yang berada di bawah Kahyangan Manik Maninten, sementara diatas Kahyangan Manik Maninten 

Alkisah di istana Jonggring Salaka, Kahyangan Suralaya. Sang Hyang Tunggal yang didampingi kedua permaisurinya memanggil ketiga putranya, Sang Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Manikmaya. Ia bermaksud ingin menyerahkan tahta Suralaya kepada salah putranya, namun sebelumnya Sang Hyang Tunggal mengisahkan perihal kelahiran mereka yang berasal dari sebutir telur hingga tercipta menjadi sosok manusia dewa. Dan yang membuat Sang Hyang Tunggal belum bisa menentukan siapa diantara putranya yang berhak mewarisi Kahyangan Suralaya, adalah karena dulu Sang Hyang Tunggal menyirami tiga bagian pecahan telur itu secara bersamaan sehingga tidak ada yang tercipta lebih dahulu dari bagian lainnya, tidak ada istilah ter-tua diantara yang lainnya, besarnya pun bersamaan.

Sebelum Sang Hyang Tunggal selesai bersabda, tiba-tiba Sang Hyang Antaga berkata kepada Sang Hyang Tunggal. Ia mengatakan bahwa kulit telur tentunya lebih awal dilahirkan, sebab kulit berada diluar isi dan telah ditakdirkan menjadi pelindung, yaitu melindungi isi telur yang lemah. Maka menurut Sang Hyang Antaga, kulit telurlah yang dianggap lebih tua dibandingkan dengan isinya.
Sang Hyang Ismaya menepis perkataan Sang Hyang Antaga. Menurutnya, bahwa kulit dan isi telur adalah satu kesatuan yang terlahir bersamaan. Tanpa adanya putih dan merah telur yang menjadi isi, maka kulit telur pun tidak akan ada. Tidaklah mungkin telur terlahir hanya kulitnya saja tanpa ada isi yang telah ikut menyempurnakan keadaannya. Dan Sang Hyang Ismaya mengingatkan kepada Sang Hyang Antaga, bahwa putih dan merah telur yang menjadi isi adalah cikal bakal yang menjadi adanya tanda-tanda kehidupan. Kulit hanya ragangannya saja, tetapi isilah yang menjadi sumber dan keutamanya.


Sang Hyang Antaga tersinggung mendengar kata-kata Sang Hyang Ismaya. Ia yang tercipta dari kulit telur merasa dihina, tidak dianggap memiliki keutamaan, hanya ragangan yang berarti benda kosong yang tidak memiliki arti. Sang Hyang Antaga pun berjumawa, ia menganggap kulit telur adalah yang terkuat dengan wujud keras dibandingkan isi. Sang Hyang Ismaya membantah, bagaimana bisa disebut kuat kalau kulit telur bisa retak dan pecah. Adu mulut antara Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya kian memanas, mereka berdua sama-sama telah terbakar amarah.
Kita adu kesaktian! Siapa yang kuat diantara kita!

Adigang, adigung, adiguna. Sang Hyang Antaga menunjukan perwatakannya yang secara lahir tercipta dari kulit telur, keras, jumawa dan selalu merasa dirinya yang paling hebat.
Sang Hyang Ismaya yang sudah merasa jengah dengan segala perkataan dan sikap saudaranya, menanggapi tantangan. Bagi Sang Hyang Ismaya menolak tantangan adalah tindakan seorang pengecut. Sekaligus akan memberi pelajaran kepada Hyang Antaga bahwa “girilusi jalmo tan keno ing ngino” di atas langit masih ada langit, jangan menganggap diri paling sakti di atas muka bumi.

Melihat perselisihan yang kian memanas diantara kedua putranya, Sang Hyang Tunggal segera melerai. Ia menasehati putra-putranya agar bisa lebih berpikir secara jernih dan terbuka, sebab semua masalah akan ada jalan keluarnya bila tanggapi dengan jiwa yang bersih. Tapi sudah terlanjur, keduanya sudah merasa saling dihinakan satu sama lainnya, maka keduanya pun sudah tidak menghiraukan lagi nasehat ayahandanya.

Bertikai dengan saudara sendiri, apakah kalian tidak akan menyesal nantinya?

Guntur menggelegar dan kilat menyambar. Awan hitam berarak berkejaran menutupi langit, bumi pun bergetar. Candradimuka bergolak menyemburkan lahar api yang sangat panas. Sabda Sang Hyang Tunggal telah menjadi kutukan bagi mereka, namun karena keduanya sudah sama dirasuki nafsu angkara murka, maka keduanya sudah tidak mampu berfikir dengan hati nuraninya. Hyang Antaga segera melesat meninggalkan Jonggring Salaka, dan kemudian disusul oleh Sang Hyang Ismaya.

Dilain pihak Sang Hyang Manikmaya hanya diam membisu. Dia tidak mau melibatkan diri dalam pertikaian kedua saudaranya, terkesan tidak ingin ikut campur. Akan tetapi ‘diam’ yang dilakukan Sang Hyang Manikmaya bukanlah sebab halus budi pekertinya. Disinilah perbedaan perwatakan diantara mereka. Sang Hyang Manikmaya lebih cerdik dibandingkan kedua saudaranya, ia licik dan otaknya mampu bekerja dengan baik dibandingkan nafsunya. Sang Hyang Manikmaya akan membiarkan kedua saudaranya yang bertikai. Ia tahu bahwa diantara mereka mempunyai kesaktian yang berimbang, jadi untuk apa harus membuang tenaga ikut mengadu kesaktian dengan mereka. Yang terlintas dalam pikirannya adalah, ini kesempatan baik untuk bisa merebut hati ayahandanya dan mengincar singgasana Suralaya.

Sementara itu, jauh di luar gerbang gaib Selamatangkep, dua kesatria dewa telah saling beradu kesaktian. Masing-masing dari keduanya menunjukan keluhuran ilmunya. Saling mengeluarkan aji jaya kawijaya dan saling menghunus pusaka kadewatan. Mereka saling serang, saling pukul, saling tusuk dan saling banting hingga mengakibatkan guncangan hebat bagi bumi tempat mereka bertarung. Gunung longsor, bukit rug-rug. Candradimuka tidak henti-hentinya mengeluarkan semburan api panas yang menyala, asap hitamnya menggumpal melingkupi puncak Himalaya (Kahyangan Suralaya).
Tidak disangsikan lagi kehebatan dari kedua putra Sang Hyang Tunggal itu, keduanya sama-sama sakti, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Palagan yuda tempat bertarung mereka tidak hanya di atas lapisan bumi, tapi juga masuk ke dalam perut bumi, bertarung di dasar samudera dan bahkan berdirgantara di angkasa.
Pertempuran dua kesatria dewa yang berlangsung dahsyat ini mengundang rasa keprihatinan bagi kakek-kakek mereka, baik Sang Hyang Wenang yang bersemayam di alam ‘sunyaruri’, ataupun Sah Hyang Rekatama (Sang Hyang Yuyut) yang bersemayam di Samudralaya. Telah banyak yang menjadi korban karena dampak dari pertarungan kedua cucunya. Rusaknya gunung, hutan dan lautan, juga mahluk-mahluk lain baik yang berada di alam maya ataupun di alam nyata.

Pertarungan antara Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga telah memakan waktu yang cukup lama, tanpa berhenti dan tanpa mengenal rasa lelah. Dan saat pertarungan menginjak waktu yang ke-empat puluh hari, Sang Hyang Tunggal memutuskan untuk menyelesaikan pertarungan dengan mengajukan syarat sayembara kepada kedua putranya. Barang siapa yang mampu menelan gunung Jamurdipa dan lalu memuntahkannya kembali, maka dialah yang akan diakui sebagai yang tertua dan dinobatkan sebagai Raja Tribuana, mewarisi seluruh Kahyangan Suralaya.

Togog Dan Semar


Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya menyanggupi sayembara tersebut. Keduanya lalu mempersiapkan diri. Didahului oleh Sang Hyang Antaga, ia bertiwikrama menjadi berhala sewu yang besarnya melebihi gunung. Dan lalu gunung Jamurdipa dicabut dan dimasukan ke dalam mulutnya. Ia memaksa untuk menelan, namun ia merasa sangat kesusahan untuk menelannya, Gunung Jamurdipa itu masih berukuran lebih besar dari mulutnya, tapi karena nafsunya yang besar, maka ia terus mencoba memasukan gunung itu ke dalam mulutnya hingga mulutnya robek besar. ‘Kegedhen empyak kurang cagak’, besar keinginannya namun kurang mempunyai perhitungan.

Melihat Sang Hayang Antaga yang sedang bersusah payah ingin menelan gunung, Sang Hyang Ismaya segera melakukan tiwikrama. Tubuhnya seketika meninggi dan membesar, wujudnya seketika itu juga berubah menjadi berhala sewu. Akan tetapi wujud reksa denawa Sang Hyang Ismaya lebih tinggi besar dibandingkan dengan wujud raksasa jelmaan Sang Hyang Antaga. Tingginya melebihi tujuh kali puncak Himalaya. Kemudian Berhala Sewu perwujudan dari Sang Hyang Ismaya dengan cepat merebut gunung yang hendak ditelan oleh Sang Hyang Antaga. Dalam keadaan seperti itu Sang Hyang Antaga menjadi limbung, pandangan matanyapun dengan serta merta menjadi gelap, tidak sadarkan diri. Tubuhnya sekejap berubah kembali menjadi kecil dan luruh ambruk di atas bumi.

Kini gilliran Sang Hyang Ismaya, dengan kekuatan luar biasa Sang Hyang Ismaya memaksakan gunung Jamurdipa masuk ke dalam mulutnya. Oleh sebab tubuhnya lebih besar dari reksa denawa jelmaan Sang Hyang Antaga, maka dengan kekuatannya Sang Hyang Ismaya berhasil memasukan gunung Jamurdipa ke dalam mulutnya, dan lalu ditelan. Sang Hyang Ismaya sempat tercekat, ia merasa seperti tercekik dan sulit bernafas saat gunung Jamurdipa tertelan masuk di kerongkongannya. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan kesaktiannya hingga gunung itu pun langsung amblas ke dalam perutnya.

Seperi juga Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya sudah kehabisan seluruh tenaganya, ia merasa sudah tidak mampu lagi untuk mencoba memuntahkan kembali gunung Jamurdipa. Tubuhnya dingin dan lunglai, lalu seketika berubah kembali menjadi kecil, jatuh terkapar tidak sadarkan diri.

Sementara di Jonggring Salaka, Sang Hyang Tunggal yang sudah mengetahui peristiwa yang telah dialami kedua putranya hanya merenung. Ia pun menyesali atas kesalahannya waktu dulu, saat menyempurnakan wujud telur yang menjadi asal muasal mereka. Seharusnya mereka tidak disempurnakan secara bersamaan, sehingga bisa dibedakan mana yang lebih awal tercipta dan untuk dituakan. Namun yang lebih disesalkan lagi adalah mereka sudah tidak mau mendengarkan nasehatnya sebagai orang tua, apa mau dikata, semuanya sudah terlanjur, dan mereka telah memilih jalannya masing-masing.

Alam kembali menjadi tenang, burung-burung berkicau dikegelapan pagi, dan angin berhembus semilir meniupkan nafasnya yang gemulai. Diantara basahnya embun pagi di atas dedaunan, dua sosok mahluk yang terkapar di atas tanah kini mulai bergerak hidup, menunjukan bahwa keberadaan mereka masih memiliki nafas.

Mereka yang tidak lain adalah Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya yang telah tidak sadarkan diri untuk beberapa saat lamanya, dan kini mulai terbangun dari sadarnya. Keduanya masih terlihat bingung dan seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Baik Sang Hyang Antaga maunpun Sang Hyang Ismaya belum pulih total kesadarannya, mereka sama terkejutnya saat saling berhadapan. Dan Salah satu dari mereka lalu bertanya.

Siapa andika?

Yang ditanya menjawab sebagai Sang Hyang Antaga. Yang bertanya sontak terkejut seperti mendengar petir disiang bolong.Betapa tidak, yang mengaku sebagai Sang Hyang Antaga itu berpenampilan buruk rupa. Penampilan dan mukanya sangat jauh dari Sang Hyang Antaga yang sangat ia kenal. Sang Hyang Antaga yang sangat ia kenali adalah sosok kesatria perkasa, sedangkan yang dihadapinya bisa dibilang lebih mirip dengan mahluk jadi-jadian sebangsa Jin atau Dedemit. Tubuhnya pendek buncit, mukanya tidak seimbang dengan mulutnya yang sangat lebar menyerupai mulut angsa. Belum lagi habis rasa herannya, yang tadi mengaku bernama Sang Hyang Antaga balik bertanya.

Lah! Andika sendiri siapa?

Kini giliran dia menjawab dan mengaku bernama Sang Hyang Ismaya. Seperti juga Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Antaga pun terkejut bukan kepalang. Sang Hyang Ismaya seharusnya berwajah elok dan bersinar seperti matahari, tapi yang mengaku Ismaya ini bertubuh gemuk berpantat besar, wajahnya pun sama sekali tidak mirip, sangat lebih tua.

Mereka berdua saling meyakinkan siapa mereka, dan baru tersadar saat mereka mencoba untuk mengenali bentuk tubuh masing-masing, merabai seluruh wajah dan tubuhnya. Mereka sama-sama terkejut dan menjadi sadar bahwa mereka berdua telah terkena kutukan orang tua mereka, Sang Hyang Tunggal. Lalu mereka berdua menangis sejadi-jadinya sambil berangkulan seperti anak kecil. Dan kemudian memutuskan untuk kembali pulang ke Kahyangan Suralaya, menghadap Sang Hyang Tunggal.

Di Jonggring Salaka, di hadapan Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga masih terus menangis memohon ampunan, mereka memohon ayahandanya untuk merubah kembali wujud mereka seperti semula. Namun Sang Hyang Tunggal tidak dapat mengabulkan permohonan mereka. Menurutnya ini sudah takdir dan kehendak Yang Maha Kuasa.

Sang Hyang Tunggal bersabda kepada para putranya bahwa dirinya akan segera mokswa ke alam sunyaruri, namun sebelumnya ia akan menunjuk salah satu dari putranya untuk menggantikannya menjadi Raja Tribuana di Kahyangan Suralaya. Lalu Sang Hyang Tunggal menunjuk dan menobatkan Sang Hyang Manikmaya menjadi Raja Tribuana, dan kepada Sang Hyang Antaga juga Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Tunggal menyarankan mereka untuk turun ke marcapada apabila Sang Hyang Manikmaya kelak menurunkan keturunannya di Marcapada.

Sebagai Raja Tribuana, Sang Hyang Manikmaya diberi tugas untuk menentramkan marcapada. Sedangkan Sang Hyang Antaga bila saatnya nanti turun ke marcapada harus merubah namanya menjadi Togog (Togog Wijomantri). Ia ditugaskan untuk mengasuh, mendidik dan memberi nasehat budi pekerti yang baik kepada para raja keturunan Sang Hyang Manikmaya yang berwujud raksasa. Kelak dikehidupannya nanti Togog akan menghamba dan ikut kepada para raja raksasa seperti raja-raja Lokapala hingga Alengka yang berasal dari keturunan Batara Sambu, putra sulung Sang Hyang Manikmaya.
Dan kepada Sang Hyang Ismaya, bila saatnya turun ke marcapada harus berganti nama menjadi Semar (Semar Badranaya). Ia ditugaskan untuk mengasuh para raja, brahmana, dan kesatria yang masih keturunan Sang Hyang Manikmaya.

Sebenarnya yang paling berat adalah tugas Sang Hyang Antaga, sebab ia disuruh memberi pelajaran budi pekerti, menasehati serta meluruskan para raja raksasa yang kebanyakan sifat dan perwatakannya penuh dengan angkara murka.

Tiga Batara Pertama


Pernikahan Sang Hyang Tunggal dengan Dewi Darmani mendapatkan keturunan bernama Sang Hyang Rudra , Sang Hyang Dewanjali , dan Dewi Darmastuti. Ketiga putra Sang Hyang tunggal tersebut berwujud akyan.  Mereka semua tinggal di kahyangan Keling , hingga suatu saat Sang Hyang Tunggal berkeinginan memiliki keturunan yang mempunyai raga sehingga bisa menguasai tiga dunia .
Keinginan tersebut pun dibicarakan dengan istri dan putra - putrinya , setelah semua setuju , Sang Hyang Tunggal pun turun ke Marcapada , dan kahyangan Keling diserahkan kepada Sang Hyang Rudra, yang kemudian bergelar Sang Hyang Dharmadewa.

Setiba di marcapada , Sang Hyang Tunggal kemudian melakukan tapa semadi diatas sebuah batu di tepi pantai.

Tak jauh dari tempat Sang Hyang Tunggal bertapa terdapatlah kerajaan jin di dasar laut yang bernama Teleng Samodra , rajanya adalah jin yang berwujud kepiting raksasa bernama Prabu Rekatama , dia memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Dewi Rekathawati. Pada saat itu Prabu Rekatama tampak pergi meninggalkan kerajaannya untuk mewujudkan mimpi Dewi Rekathawati yang bermimpi menikah dengan seorang Dewa bernama Sang Hyang Tunggal.

Begitu keluar dari samudra , dia melihat cahaya terang di tepi pantai , penuh rasa ingin tahu Prabu Rekatama pun segera menuju ke tempat asal cahaya tersebut. Dan tampaklah Sang Hyang Tunggal sedang bertapa , prabu Rekatama segera membangunkan Sang Hyang Tunggal dari tapanya , namun usaha tersebut gagal bahkan Prabu Rekatama terlempar jauh oleh daya perbawa sang Hyang Tunggal , bahkan sampai pingsan.

Akhirnya setelah tersadar dari pingsannya , Prabu Rekatama mengerahkan  segala kesaktiannya , kemudian dengan cara gaib memindahkan Sang Hyang Tunggal dari tepi pantai ke istana kerajaan Teleng Samodra.

Sanghyang Tunggal terbangun dari tapa dan terkejut karena tahu-tahu dirinya sudah berada di dalam keraton bawah laut. Di hadapannya sudah ada seorang raja jin kepiting dan putri cantik, yang tidak lain adalah Prabu Rekatatama dan Dewi Rekatawati.

Prabu Rekatatama menyampaikan maksudnya untuk melamar Sanghyang Tunggal sebagai suami putrinya. Sanghyang Tunggal mendapat firasat bahwa dengan cara inilah ia dapat mencapai cita-cita memiliki putra berbadan jasmani dan rohani. Maka, ia pun menerima lamaran tersebut.

Singkat cerita, Dewi Rekatawati telah mengandung anak Sanghyang Tunggal. Ketika tiba waktunya, ternyata yang ia lahirkan adalah sebutir telur. Sanghyang Tunggal sangat marah dan membanting telur tersebut. Namun telur itu melesat terbang ke angkasa meninggalkan Kerajaan Telengsamodra. Sanghyang Tunggal semakin penasaran dan segera terbang pula untuk mengejarnya.

Telur ajaib itu melesat sampai ke Kahyangan Tengguru. Sanghyang Wenang terkejut dan berusaha menangkapnya. Namun telur aneh itu begitu gesit, dan baru bisa ditangkap setelah Sanghyang Wenang mengerahkan kesaktiannya.

Sanghyang Tunggal datang menghadap dan menceritakan bahwa telur tersebut adalah anaknya yang terlahir dari Dewi Rekatawati. Sanghyang Wenang paham isi hati putranya, maka ia pun mengheningkan cipta memohon izin Tuhan supaya telur di tangannya itu bisa berubah menjadi anak. 

Selesai bersamadi, Sanghyang Wenang lalu menyiram telur itu dengan air keabadian Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, cangkang telur pun terbuka dan berubah menjadi seorang laki-laki yang diberi nama Batara Antaga. Selanjutnya putih telur juga berubah menjadi seorang laki-laki yang diberi nama Batara Ismaya. Dan yang terakhir, kuning telur berubah menjadi laki-laki pula dan diberi nama Batara Manikmaya.

Sanghyang Tunggal sangat senang melihat ketiga putranya itu ternyata lahir sesuai harapan, yaitu bisa berbadan jasmani dan rohani. Ia juga meramalkan kelak dari Batara Ismaya akan lahir sepuluh anak, dan dari Batara Manikmaya lahir sembilan anak, sehingga melalui mereka keturunan bangsa dewa akan berkembang biak di muka bumi.