Kumpulan cerita berdasarkan pewayangan

Halaman

Gelar Jagad


Setelah tatanan di kahyangan sudah tercipta dan semua sudah berjalan dengan baik , maka Sang Hyang Manik Maya pun ingin menata keadaan di Marcapada , saat itu di marcapada masih kosong , untuk itu maka diutuslah Sang Hyang Batara Chandra, Sang Hyang Batara Brama, Sang Hyang Batara Indra, Sang Hyang Batara Surya, Sang Hyang Batari Ratih, Sang Hyang Batara Bayu, Sang Hyang Batara Hananta Boga, Sang Hyang Batara Baruna dan Sang Hyang Batara Wisnu untuk menciptakan tempat di luar Sela Matangkep.

Saat itulah baru terciptanya dunia, dimulai dengan adanya Bintang yang diciptakan oleh Sang Hyang Batari Ratih

Sang Hyang Batara Brama bersama-sama dengan Sang Hyang Batara Hananta Boga dan Sang Hyang Batara Wisnu menciptakan Bumi dan planet-planet yang lain.

Bumi sendiri diciptakan awalnya dari sebuah gumpalan api yang dibuat oleh Sang Hyang Batara Brama yang kemudian dilapisi oleh jangkar bumi dan cangkang bumi oleh Sang Hyang Batara Hananta Boga dan Sang Hyang Batara Surya memindahkan kaki Kahyangan Ekacakra mendekati Bumi yang sekarang kita kenal dengan nama Matahari.

Kemudian Sang Hyang Batara Chandra juga memindahkan kaki Kahyangan Cakra Kembang ke dekat Bumi yang kita kenal dengan nama Bulan, Sang Hyang Batara Bayu menciptakan atmosfir serta Sang Hyang Batara Indra menciptakan hujan. Bumi pada waktu itu masih panas karena belum ada lautan.

Baru setelah itu diturunkanlah para lelembut dan drubiksa ke Bumi atau Arcapada, akan tetapi ternyata setelah itu terjadi saling serang antara mereka untuk memperebutkan wilayah yang mereka sukai. Sehingga kemudian diturunkan juga para Hapsara dan Hapsari serta para Widadara dan Widadari ke Bumi / Marcapada untuk membuat hirarki di Arcapada agar terjadi kestabilan dan keamanan di Arcapada. Setelah situasi di Arcapada cukup aman, baru kemudian oleh Batara-Batari yang ditugaskan [tanpa Sang Hyang Hananta Boga] diciptakanlah tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan.




Adalah Sang Hyang Batara Brama yang pertama kali menciptakan manusia, diambil dari tanah dan dibuat dengan kepalan tangannya, karena Sang Hyang Batara Brama adalah Dewa Api maka wujud manusia yang dibuat terlalu gosong, makanya kemudian disebut dengan Bangsa Keling. Proses penciptaan manusia pertama itu terjadi di daratan Jawa di Gunung Bromo, dan manusia yang diciptakan saat itu suhunya sangat panas untuk tinggal di dataran rendah sehingga mereka hanya dapat hidup di ketinggian yang suhunya lebih dingin.

Kemudian Sang Hyang Batara Wisnu juga menciptakan manusia dan terwujudlah sosok manusia yang lebih baik dan sempurna [seperti manusia sekarang ini], kejadian itu masih di daratan Jawa di Gunung Pawinihan [sekarang Gunung Wilis]. Tetapi saat itu manusia ciptaan Sang Hyang Batara Wisnu kondisi suhunya masih sama karena hanya mampu tinggal di tempat dingin. Manusia ciptaan itu menjadi rebutan dari para Hapsara dan Hapsari untuk dimomong oleh mereka.Maka diaturlah agar manusia mempunyai keturunan dulu dan kemudian anak-anak mereka langsung di bawa oleh para Hapsara dan Hapsari untuk kemudian wajahnya dibentuk sesuai dengan wajah dari para Hapsara dan Hapsari yang memomongnya. Hal ini dilakukan agar Arcapada dapat dipenuhi oleh manusia untuk keseimbangan alam semesta.

Delapan Batara dan Batari yang ikut dalam proses penciptaan manusia dan Prawita Sari [air suci keabadian], yaitu Sang Hyang Batara Chandra, Sang Hyang Batara Brama, Sang Hyang Batara Indra, Sang Hyang Batara Surya, Sang Hyang Batari Ratih, Sang Hyang Batara Bayu, Sang Hyang Batara Baruna dan Sang Hyang Batara Wisnu inilah yang disebut dengan Hasta BrataHasta berarti delapan dan Brata berarti laku, watak, atau sifat utama yang di ambil dari sifat alam.
  1. Sang Hyang Batara Chandra mewakili sifat Bulan 
  2. Sang Hyang Batara Brama mewakili sifat Api
  3. Sang Hyang Batara Indra mewakili sifat Langit/ Angkasa
  4. Sang Hyang Batara Surya mewakili sifat Matahari
  5. Sang Hyang Batari Ratih mewakili sifat Bintang
  6. Sang Hyang Batara Bayu mewakili sifat Angin
  7. Sang Hyang Batara Baruna mewakili sifat Air
  8. Sang Hyang Batara Wisnu mewakili sifat Bumi/ Tanah
Kemudian para Batara-Batari dan Dewa-Dewi turun ke bumi dan mulai mengajarkan pola kehidupan kepada umat manusia, hal itu dilakukan agar manusia kemudian secara otomatis dan naluri akan mengajarkan kepada keturunannya juga, sehingga tidak perlu setiap generasi berikutnya dari keturunan manusia yang lahir, para Batara-Batari dan Dewa-Dewi harus turun ke Arcapada untuk mengajarkan pola yang sama.
Beberapa pola kehidupan yang diajarkan kepada manusia itu antara lain :
  • Sang Hyang Batara Brama mengajarkan kepada manusia bagaimana caranya membikin perkakas
  • Sang Hyang Batara Wisma Karma mengajarkan manusia cara membikin rumah tinggal
  • Sang Hyang Batara Wrehaspati mengajarkan Manusia ilmu pengetahuan
  • Sang Hyang Batara Wisnu mengajarkan aturan antar manusia, aturan-aturan berkehidupan untuk tidak saling menjegal
  • Sang Hyang Batara Mahadewa mengajarkan manusia caranya membikin perhiasan dan pakaian
  • Sang Hyang Batara Cipta Gupta mengajarkan manusia caranya mengenal dan membuat warna-warni
  • dan lain-lain

Manusia-manusia awal yang tercipta di Arcapada ini baik yang di Gunung Bromo maupun yang di Gunung Pawinihan dinamakan Bangsa Keling dari kata 'kelingan' yang mengingatkan tentang awal penciptaan, struktur komunal pertama manusia dinamakan Kerajaan Keling dengan Kraton-nya berada di lereng Gunung Pawinihan yang dipimpin oleh Sang Maha Prabu Radite yang dimomong oleh Sang Hyang Batara Wisnu.
Semua peristiwa sebagai bagian dari awal peradaban ini terjadi di jaman sedang Kala Kukila pada jaman besar Kali Swara, di mana saat itu belum diciptakan lautan dan putaran Bumi masih belum stabil.

Batara Guru Krama 2 : Lahirnya Lima Putra Batara Guru


Kahyangan Suralaya kini bertambah ke-elokannya setelah Sanghyang Manikmaya Raja Tribuana mempersunting Dewi Uma putri Prabu Umaran dan Dewi Nurweni dari negeri Merut. Seperti ratna mutu manikam ditengah samudra biru, cahayanya gemerlapan bersinar menerangi Jonggring Salaka. Burung dan angin bernyanyi seirama dengan alunan gending lokananta yang mendayu sepanjang waktu dalam ruang kahyangan. Seperti juga titik-titik embun yang jatuh di dedauanan sebelum langit terbuka, menyongsong kehadiran sang fajar yang memberikan kehangatan pada ruang bumi. Generasi-generasi para dewa keturunan Hyang Manikmaya akan bermuasal dari sini untuk meramaikan kahyangan dan marcapada.

Angin malam semilir berhembus berkelana membisikan keheningan peraduan dua insan yang sedang melintasi gelora asmara. Semerbak harum wewangian bunga kahyangan melengkapi rasa asyik dan masyuk, menimbulkan keinginan untuk dapat selalu merajut cinta dan kasih selamanya… kepada sang dewi yang memancarkan kebahagiaan.
Beberapa kurun waktu setelah pernikahan mereka, Dewi Uma melahirkan seorang putra yang kelahirannya disertai bau harum semerbak diseluruh kahyangan Suralaya. Putra pertama ini diberi nama Batara Sambu yang memiliki sifat jujur dengan perbawa (perlambang) ‘awan’ (mega). Batara Sambu bersemayam di kahyangan Suwelagringging, ia menikah dengan Dewi Darmastuti putri dari Sanghyang Ismaya dengan Dewi Senggani. Dari pernikahannya dengan Dewi Darmastuti, Batara Sambu dikaruniai empat orang putra, antara lain adalah Batara Sambusa, Batara Sambawa, Batara Sambujana dan Batara Sambudana. Kelak dari salah satu putranya akan menurunkan raja-raja raksasa seperti Rahwana hingga Nirtakawaca yang akan diasuh oleh Hyang Antaga (Togog).

Seiring berjalannya waktu, cinta kasih antara Hyang Manikmaya dan dewi Uma kembali menurunkan benih keturunan. Dewi Uma kembali melahirkan seorang putra, saat itu kelahiran putra kedua diawali dengan membuncahnya lahar panas Candradimuka hingga menyalakan kobaran api yang sangat besar dan dahsyat. Putra kedua itu lalu diberi nama Batara Brahma yang memiliki sifat semangat yang menyala-nyala dengan perbawa (perlambang) ‘api’. Ia bersemayam di kahyangan Tursina Geni (Daksina Geni). Batara Brahma menikah dengan tiga orang putri Sanghyang Nioya, mereka adalah Dewi Saci, Dewi Sarasyati dan Dewi Rarasyati. Dari perkawinannya dengan Dewi Saci, Batara Brahma dikaruniai dua orang putra, yaitu : Batara Maricibrama dan Batara Naradabrama. Sedangkan perkawinanya dengan Dewi Sarasyati dikaruniai lima orang putra, yaitu : Batara Bramanasa, Batara Bramasadewa, Batara Bramanasadara, Batara Bramarakanda, Batara Bramanaresi. Adapun putra dan putri Batara Brahma dengan Dewi Rarasyati adalah Dewi Bremani, Dewi Bramanisri, Batara Bramaniskala, Batara Bramanayara, Dewi Bramanista, Dewi Bramaniyari, Dewi Bramaniyodi, Batara Bramanayana, Batara Bramaniyata, Batara Bramanasatama, Dewi Bramanayekti, Dewi Bramaniyuta, Dewi Dresnala, Dewi Dreswati.

Waktu-waktu berikutnya Dewi Uma kembali melahirkan putranya yang ketiga. Pada saat itu kelahiran putra ketiga seiring dengan musim penghujan yang berkepanjangan. Putra ketiga ini diberi nama Batara Indra yang memiliki sifat rasa dengan perbawa (perlambang) ‘halilintar’. Batara Indra bersemayam di kahyangan Rinjamaya (kahyangan kaindran). Indra menikah dengan Dewi Wiyati putri Sanghyang Nioya, mereka dikaruniai putra dan putri, yaitu : Dewi Tara, Dewi Tari, Batara Citrarata, Batara Citragana, Batara Jayantaka, Batara Jayantara, Batara Harjunawangsa.

Selanjutnya Dewi Uma kembali melahirkan lagi putranya yang keempat. Pada saat kelahiran putra keempat ini diiringi oleh angin prahara yang sangat dahsyat. Maka, putra keempat mereka beri nama Batara Bayu yang memiliki sifat daya atau kekuatan dengan perbawa (perlambang) ‘angin’. Batara Bayu bersemayam di kahyangan Panglawung, ia menikah dengan Dewi Sumi putri Batara Soma, cucu dari Sanghyang Pancaresi yang adalah keturunan Sanghyang Darmajaka (Darmakaya) kakak kandung Sanghyang Wenang. Perkawinan Batara Bayu dengan Dewi Sumi dikaruniai empat orang putra, yaitu : Batara Sumarma, Batara Sangkara, Batara Sadarma, dan Batara Bismakara.

Setelah Hyang Manikmaya dan Dewi Uma beranak panak seperti layaknya manusia, maka mereka mendapat teguran dari Sanghyang Tunggal. Bahwa untuk menurunkan keturunan yang linuih, Hyang Manikmaya dan Dewi Uma tidak hanya melakukan olah asmara biasa, tapi harus menjalaninya dengan cara menempuh keheningan dengan menggunakan aji asmaracipta, asmaraturida, asmaragama. Hyang Manikmaya dan Dewi Uma menuruti nasehat Sanghyang Tunggal. Dari lelaku mereka lahirlah putra kelima yang diiringi oleh berbagai macam perubahan cuaca yang menimbulkan bencana alam seperti panas, hujan yang disertai petir, dan angin topan prahara yang sangat dahsyat. Peristiwa tersebut menimbulkan kembali membuncahnya lahar api Candradimuka. Putra kelima Hyang Manikmaya dan Dewi Uma diberi nama oleh Sanghyang Tunggal dengan nama Batara Wisnu yang memiliki sifat bijaksana, perbawanya adalah manunggalnya empat sifat, yaitu sifat jujur (Batara Sambu), semangat (Batara Brahma), rasa (Batara Indra), dan daya atau kekuatan (Batara Bayu). Batara Wisnu bersemayam di kahyangan Untarasegara, ia menikah dengan dua orang putri dari Batara Wismaka (putra kelima Sanghyang Pancaresi), mereka adalah dewi Sri Pujayanti (Dewi Laksmita) dan Dewi Sri Sekar (Dewi Laksmi). Dari Dewi Sri pujayanti (Dewi Laksmita), Batara Wisnu dikaruniai putra dan putri, yaitu : Batara Heruwiyana, Batara Ishawa, Batara Bhisawa, Batara Isnawa, Batara Isnapurna, Batara Madura, Batara Madudewa, Batara Madusadana, Dewi Srihuna, Dewi Srihuni, Batara Pujarta, Batara Panwanboja, Batara Sarwedi.
Dari perkawinannya dengan Dewi Sri Sekar, Batara Wisnu dikaruniai tiga orang anak, yaitu : Batara Srigati (pendiri negara Purwacarita, ia menjadi raja Purwacarita bergelar Prabu Sri Mahapunggung), Batara Srinada (pendiri negara Wirata / Wirata kuno, ia menjadi raja Wirata bergelar Prabu Basurata), Dewi Srinadi.

Putra ke-enam Dewi Uma dengan Hyang Manikmaya adalah Batara Gana (Ganesa). Peristiwa kelahirannya diawali saat Dewi Uma hamil, ia merasa sangat kaget dengan kehadiran gajah Erawati yang datang secara tiba-tiba. Gajah besar kendaraan Batara Indra itu dimaki-maki oleh Dewi Uma, karena kesal dan saking terkejutnya. Maka ketika lahir putra ke-enam Hyang Manikmaya dan Dewi Uma itu berwujud manusia gajah, tubuhnya berbentuk manusia, kepalanya berwujud gajah. Oleh Hyang Manikmaya diberinama Batara Gana (Ganesa).

Selain Sanghyang Manikmaya, sebenarnya para sanghyang dan dewa lainnya juga berkembang menurunkan keturunan mereka, seperti Sanghyang Ismaya yang telah mempersunting seorang bidadari yang bernama Dewi Senggani, putri dari Sanghyang Wening (saudara kembarnya Sanghyang Wenang). Dari pernikahannya dengan Dewi Senggani, Hyang Ismaya dikaruniai sepuluh orang anak, diantaranya adalah Bathara Wungkuam, Bathara Tembora, Bathara Kuwera, Bathara Wrahaspati, Bathara Syiwah (bukan Shiwa), Bathara Surya, Bathara Chandra, Bathara Yama/Yamadipati, Bathara Kamajaya dan Bathari Darmastuti (istri Batara Sambu, putra Hyang Manikmaya).
Sanghyang Senggana kakak kandung Dewi Senggani menurunkan keturunan yang berbentuk burung belibis.

Sanghyang Nioya yang bersemayam di kahyangan Argamaya, menikah dengan Batari Darmastuti, yang masih kemenakannya sendiri. Sebab, Sanghyang Nioya adalah putra ke-empat dari Sanghyang Wenang, sedangkan Batari Darmastuti adalah putri Sanghyang Tunggal dari Dewi Dermani. Dari pernikahannya dengan Dewi Darmastuti, Hyang Nioya dikaruniai empat puluh satu orang anak. Salah seorang dari anak Hyang Nioya adalah Hyang Baruna, dan empat puluh lainnya adalah bidadari-bidadari yang akan dinikahkan dengan keturunan Hyang Manikmaya dan keturunan Hyang Ismaya. Dari sekian banyak putri Sanghyang Nioya yang dikenal dalam pedalangan diantaranya Dewi Warsiki yang merupakan salah satu pimpinan tujuh bidadari upacara di kahyangan, dan Dewi Urwaci, bidadari paling seksi di kahyangan dan menjadi kecintaan Hyang Manikmaya.


Sanghyang Heramaya putra bungsu Hyang Wenang menikah dengan putri raja jin di perairan. Dari perkawinannya itu lahirlah seorang putra bernama Batara Gangga.

Sanghyang Taya, adik dari Sanghyang Wenang juga telah berputra empat orang. Yang sulung bernama Sanghyang Parma, memiliki putra bernama Sanghyang Pramana. Putranya tersebut memiliki putri bernama Dewi Tappi yang menikah dengan raja jin penguasa bangsa binatang bernama Sanghyang Darampalan. Dari perkawinan itu lahir Batara Winata berwujud burung, Batara Agli berwujud musang, Batara Karpa berwujud kowangan, dan Batara Kowara berwujud sapi.

Batara Narada putra Sanghyang Caturkaneka dari Shindu / Siddi Udaludal menikah dengan Dewi Wiyodi putri Sanghyang Pancaresi (adik kandung Sanghyang Caturkaneka). Dari pernikahannya itu dikaruniai dua orang anak, yaitu : Dewi Kanekawati dan Batara Malangdewa.

Putri bungsu Sanghyang Wenang dengan Dewi Sahoti yang bernama Dewi Suyati menikah dengan Sanghyang Anantaswara dari Saptapertala (Saptabumi), mereka dikaruniai putra bernama Sanghyang Anantanaga (ular) dan menikah dengan Dewi Wasu (putri Sanghyang Nioya). Dari perkawinan Anantanaga dengan Dewi Wasu menurunkan seorang putra yang bernama Sanghyang Antaboga (Nagapasa), jadi Hyang Antaboga adalah keturunan ketiga dari Hyang Wenang.

Batara Guru Krama 1 : Dewi Uma


Cahaya sang surya memancar keemasan diufuk timur, sinarnya menghangatkan titik-titik embun yang membasahi dedaunan. Kicau burung besahutan menyapa pagi dengan segala kebahagiaan yang alami. Marcapada kembali terisi dengan suasana kedamaian.
Pagi itu puncak Tengguru dikejutkan oleh penampakan sosok ‘akyan’ (wujud halus) seorang bocah bayi yang terbang melayang melintasi hutan-hutan pegunungan dan bermain-main di depan gerbang gaib Selamatangkep. Cingkarabala dan Balaupata, dua raksasa penjaga gerbang yang merasa heran dengan sosok bayi ajaib tersebut mencoba menangkapnya namun tidak berhasil. Sosok bayi itu wujudnya halus bercahaya, ia tidak dapat disentuh, dipegang dan dirsakan. Lebih mengherankan lagi bagi Cingkarabala dan Balaupata ketika sosok bayi ajaib itu sanggup menembus Selamatangkep dengan sangat mudah. Cingkarabala dan Balaupata terus mengejar dan memasuki wilayah kahyangan Suralaya. Sosok bayi itu seperti menggoda para pengejarnya, terkadang ia hinggap diantara dahan-dahan pohon kahyangan yang indah sehingga menyempurnakan ke-elokan taman kahyangan. Tingkah pola Cingkarabala dan Balaupata yang berkejar-kejaran seperti anak kecil yang sedang menangkap seekor capung itu sempat terlihat oleh Hyang Ismaya, Antaga dan Narada. Ketiganya lalu mendatangi Cingkarabala dan Balaupata, saat mereka mendekati dua raksasa penjaga gerbang Selamatangkep barulah mereka memahami apa yang sedang dilakukan dua raksasa itu. Baik Hyang Ismaya, Hyang Antaga dan Batara Narada sama-sama takjub melihat sosok bayi indah yang berwujud halus, bayi itu sekonyong-konyong mendekati mereka bertiga, Ismaya mencoba menangkap tapi yang tertangkap hanya ruang kosong, begitu juga dengan Hyang Antaga dan Batara Narada. Petruk dan Gareng pun ikut mencoba menangkap tapi sia-sia. Sosok bayi halus itu masih terus mempermainkan mereka, selanjutnya lama kelamaan terbang menjauh dan hilang dari pandangan mata mereka.

Belum selesai diantara mereka membicarakan kejadian aneh yang baru saja terjadi, tiba-tiba datang dua orang manusia pria dan wanita. Yang pria berbusana mewah memperkenalkan diri sebagai Prabu Umaran, bangsawan dari negeri Merut dan yang wanita adalah istrinya bernama Dewi Nurweni. Bangsawan dari negeri Merut itu menjelaskan bahwa mereka tengah mengejar sosok bayi dengan wujud halus yang terbang melayang-layang hingga membawa mereka ke puncak Tengguru. Mereka mengakui bahwa bayi itu adalah putri mereka yang semenjak lahir wujudnya sudah berupa ‘akyan’ (jasad halus) dan lalu terbang meninggalkan kediaman mereka. Hyang Ismaya dan Antaga menyarankan kepada Batara Narada untuk melaporkan peristiwa itu kepada Hyang Manikmaya, dan agar Prabu Umaran juga Dewi Nurweni dipertemukan dengan Hyang Manikmaya. Mereka lalu menghadap Sang Hyang Manikmaya di istana Jonggring Salaka. Prabu Umaran memohon pertolongan Hyang Manikmaya untuk menangkap bayi anaknya. Sang Hyang Manikmaya menyanggupinya, ia mencoba akan membantu menangkap bayi itu dan akan menyerahkannya kepada Prabu Umaran dan Dewi Nuweni.
Dengan mengendarai lembu Andini, Hyang Manikmaya terbang meninggalkan kahyangan Suralaya. Mereka melintasi daratan dan lautan mencari sosok bayi putri Prabu Umaran. Menjelang malam hari, di angkasa raya Hyang Manikmaya melihat titik cahaya yang sedang melayang-layang, cahayanya bagaikan bintang timur yang bersinar di musim panas, elok dan indah dipandangan mata. Hyang Manikmaya menyuruh lembu Andini untuk mendekatinya, dan ketika terlihat lebih dekat tampaklah kalau cahaya yang berkedip bersinar itu adalah sosok bayi yang sedang terbang melayang-layang. Hyang Manikmaya tidak salah menduga bahwa bayi itu tidak lain adalah bayi yang dimaksudkan oleh Prabu Umaran. Bayi itu mendekati Hyang Manikmaya, putra Hyang Tunggal pun mencoba menangkapnya tapi tidak berhasil. Hyang Manikmaya merasa heran bercampur takjub beberapa kali dia mencoba menangkap tapi tidak berhasil, dan ketika sosok bayi itu mencoba menjauh Hyang Manikmaya mengejarnya. Dua sosok melayang-layang diangkasa diantara gelap dan terangnya gugusan sinar bintang dan rembulan. Tertangkap dalam pelukan tetapi hilang, teraih dalam genggaman tetapi kosong. Sang Hyang Manikmaya lalu bersemedi memohon petunjuk kepada ayahandanya untuk dapat menangkap bayi tersebut. Sang Hyang Tunggal memberi petunjuk bahwa untuk menangkap bayi itu harus dipegang pergelangan tangan dan kakinya secara bersamaan, dan untuk melakukan itu Hyang Manikmaya harus merelakan tangannya bertambah dua, sehingga tangan Manikmaya nantinya akan menjadi empat. Dan dengan demikian kutukan terdahulu akan dijalani oleh Manikmaya sebagai seorang Shiwa.

Setelah berubah tangannya menjadi empat, Hyang Manikmaya kembali mengejar sosok bayi ajib anak dari Prabu Umaran. Kini dengan keempat tangannya Hyang Manikmaya dapat menangkap pergelangan tangan dan kaki bayi itu secara bersamaan, dan tatkala masing-masing pergelangan tangan dan kaki bayi terpegang oleh Manikmaya, seketika itu juga sosok ‘akyan’ (wujud halus) bayi hilang dan berubah menjadi wujud jasad wadag seorang gadis jelita berparas cantik rupawan. Kaget bukan kepalang tetapi juga terpesona melihat kecantikannya. Selanjutnya, gadis itu dibawa oleh Hyang Manikmaya ke negeri Merut untuk diserahkan kepada Prabu Umaran dan Dewi Nurweni. Oleh mereka gadis itu diberi nama Uma. Dihadapan Prabu Umaran dan Dewi Nurweni, Hyang Manikmaya menyampaikan isi hatinya yang telah terpikat oleh Uma. Prabu Umaran dan Dewi Nurweni merestui, maka Dewi Uma pun dinikahkan dengan Hyang Manikmaya dan diboyong ke kahyangan Suralaya.

Geger Kahyangan 4 : Batara Narada



Syahdan di Negara Shindu Udal-udal yang menjadi raja adalah Sang Hyang Caturkaneka. Ia adalah putra dari Sang Hyang Darmajaka (Darmakaya) kakak kandung Sang Hyang Wenang, yang juga berarti saudara sepupu dengan Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Caturkaneka mempunyai seorang putra yang bernama Sang Hyang Kanekaputra. Ia adalah seorang kesatria dewa yang berparas cakap rupawan dengan kelebihan berbagai ilmu pengetahuan dan kesaktian ditambah kecerdasan yang menjadikan Sang Hyang Kanekaputra adalah seorang anak yang sangat dibanggakan oleh kedua orang tuanya, juga bangsanya. Namun kepandaian ilmu dan keluasan pengetahuan terkadang menjadi cobaan bagi setiap insan yang mendapatkan keistimewaan karunia tersebut, begitu juga dengan Hyang Kanekaputra. Dihadapan Ayahandanya, Hyang Kanekaputra mengutarakan keinginannya yang selalu tersirat dalam hati dan pikirannya untuk menjadi seorang penguasa Triloka (dunia ketiga). Sebenarnya Sang Hyang Caturkaneka melarang keinginan putranya itu. Ia memberi nasehat kepada putranya bahwa seseorang yang memiliki keluhuran ilmu dan kepandaian, sejatinya tidak akan pernah hilang walaupun ia tidak menjadi seorang penguasa atau pemimpin. Dan apalagi kedudukan sebagai Raja Tribuana telah dimandatkan oleh Sang Hyang Tunggal dan para leluhurnya kepada Sang Hyang Manikmaya, alangkah lebih baik jika Hyang Kanekaputra membantu Hyang Manikmaya dalam menjalankan tugas dan baktinya yang telah diemban sebagai seorang kalifah di kadeatan Suralaya nanti. Walau pun Hyang Caturkaneka mencoba untuk mengarahkan jalan yang lebih baik kepada putranya, namun ia sangat paham akan perwatakan putranya yang berpendirian keras. Lagi pula putranya beralasan bahwa, ia hanya ingin menguji sampai dimana kepandaian dan kesaktian Manikmaya sehingga diangkat menjadi raja Tribuana, dan kalau memang Hyang Manikmaya teruji kesaktiannya, maka ia tidak segan-segan untuk mengabdikan diri kepada Manikmaya. Mendengar alasan itu Sang Hyang Caturkaneka mengijinkan keinginan putranya. Setelah mendapat restu dari ayahandanya, Sang Hyang Kanekaputra kemudian pergi meninggalkan negeri Shindu. Ia terbang melintasi daratan dan lautan menuju Suralaya. Di tengah perjalanan Hyang Kanekaputra berubah pikiran, ia berpikir lebih baik mengundang Hyang Manikmaya dari pada dirinya yang harus datang ke Suralaya. Maka, Sang Hyang Kanekaputra lalu duduk di atas lautan samudralaya, mengheningkan cipta bermujasmedi mengolah rasa.

Puncak Tengguru diliputi awan hitam kelam. Candradimuka menggelegar-gelegar memuntahkan lahar dan api panasnya. Saat itu juga kahyangan Suralaya dihampar hawa panas, menyebabkan para penghuninya merasa was-was, ada apa gerangan yang bakal terjadi? Hyang Manikmaya dengan aji Pengabarannya mencari tahu apa gerangan yang menjadi penyebab mengamuknya kawah Candradimuka. Melalui kesaktiannya itu Manikmaya akhirnya mengetahui apa dan siapa dibalik peristiwa tersebut. Ia kemudian memutuskan untuk mendatangi Sang Hyang Kanekaputra di samudralaya.
Nun jauh di tengah samudralaya, Manikmaya melihat seberkas sinar yang memancar dari sosok seorang kesatria dewa yang sedang melakukan tapabrata. Pancaran sinarnya mampu meredam gelombang ombak yang bergemuruh di tengah lautan, tubuhnya tidak sedikit pun basah oleh air laut. Manikmaya kagum dengan kesaktian kesatria rupawan yang tidak lain adalah Sang Hyang Kanekaputra. Lalu Sang Hyang Manikmaya membangunkan dan menanyakan maksud dari tapabrata Kanekaputra yang telah mengguncangkan kawah Candradimuka. Yang ditanya tetap diam, membisu dan masih memejamkan mata. Hyang Manikmaya kembali menggugah dan menanyakannya. Yang ditanya masih saja diam, membisu dan masih tetap memejamkan mata. Hyang Manikmaya merasa kesal karena pertanyaannya tidak dijawab, ia lalu berniat mengeluarkan pusaka dewata untuk mengugahnya, tapi sebelum niat Manikmaya terlaksana tiba-tiba sepasang mata itu terbuka dan tertawa. Ia menertawakan sifat Manikmaya yang dianggap tidak memiliki kesabaran. Manikmaya kembali bertanya tentang maksud dan tujuan dari tapabrata tersebut. Sebelum menjawab pertanyaan dari yang Manikmaya, Sang Hyang Kanekaputra lebih dulu memperkenalkan jatidirinya sehingga Manikmaya kini tahu bahwa kesatria dewa tersebut adalah masih keturunan Hyang Nurrasa, salah satu leluhurnya.
Sang Hyang Kanekaputra melanjutkan dengan menjawab maksud dan tujuannya melakukan tapabrata adalah tidak lain untuk mengundang Hyang Manikmaya dan menyampaikan keinginannya menjadi kalifah ing dewa (Raja Tribuana). Mendengar itu, Hyang Manikmaya lalu mengatakan bahwa untuk menjadi seorang Raja Tribuana haruslah memiliki kepandaian dan kesaktian yang dapat diandalkan hingga nantinya akan dapat mempertanggungjawabkan tugas yang akan diemban kelak. Maka, Keduanya lalu saling mengadu pengetahuan dengan saling memberikan pertanyaan dan jawaban. Sang Hyang Kanekaputra memang seorang ahli dalam ilmu pengetahuan, kepandaiannya sangat luar biasa sehingga semua pertanyaan Hyang Manikmaya dapat ia jawab. Dan saat Hyang Manikmaya menanyakan tentang sifat tertua yang tertanam pada diri manusia semenjak lahir, Hyang Kanekaputra mampu menjawabnya dengan cemerlang bahwa sifat tertua yang ada pada diri manusia semenjak lahir adalah sifat ‘keinginan’, karena semenjak manusia dilahirkan di alam dunia, ia sudah berkeinginan. Seperti bayi manusia yang dilahirkan dalam keadaan menangis, ia sudah mempunyai keinginan, hanya saja manusia dewasa saat itu tidak mampu menterjemahkan keinginan yang disuarakan lewat tangisan bayinya.
Hyang Manikmaya mengagumi kecerdasan dan ilmu pengetahuan Hyang Kanekaputra, maka sebagai ujian terakhir adalah mengadu kesaktian. Hyang Kanekaputra menantang Manikmaya, apabila Hyang Manikmaya dapat menggeser tubuhnya dari keadaan duduk sempurna tapabrata di atas laut, maka ia mengaku kalah dan bersedia mengabdi kepada Hyang Manikmaya. Akan tetapi apabila Hyang Manikmaya tidak mampu melakukannya, maka Hyang Manikmaya harus menyerahkan tahta Jonggring Salaka kepada dirinya. Sang Hyang Manikmaya menerima tantangan, ia pun segera menyiapkan aji Kemayan dan kemudian keduanya beradu kesaktian secara batiniah. Larikan sinar berkelebatan diantara dua sosok manusia dewa yang sedang bertarung batin di atas samudralaya. Beberapa saat kemudian seiring dengan derunya gelombang ombak, Hyang Kanekaputra yang tidak sanggup melawan keampuhan aji Kemayan seakan ada sesuatu yang membetot paksa seluruh kesaktiannya keluar dari garbanya. Tubuhnya terasa lemas tak berdaya dan akhirnya terjebur masuk kedalam laut. Ia timbul tenggelam dilautan dan ia mengakui kekalahannya. Hyang Manikmaya lalu memulihkan kembali kesaktian Hyang Kanekaputra dan sejak saat itu Hyang Kanekaputra mengabdi kepada Hyang Manikmaya, ia mendapat gelar batara dan diberi jabatan sebagai kebayan ing dewa yang artinya adalah manusia dewa kedua setelah Raja Tribuana di kahyangan Suralaya, atau istliah lainnya adalah Mahapatih.
Pada hari-harinya di Suralaya, Sang Hyang Kanekaputra atau juga Batara Kanekaputra sangat gemar berjenaka. Ia seorang yang periang dan sangat suka bersendawan dengan Hyang Ismaya dan Hyang Antaga, namun kekurangannya adalah terkadang Hyang Kanekaputra tidak bisa membatasi sifat berkelakarnya. Bercandanya kadang keterlaluan, melampaui batas dengan ejekan-ejekan yang dianggapnya sebagai lelucon. Suatu hari Hyang Manikmaya merasa tersinggung ketika melihat Batara Kanekaputra meng-olok-olok Hyang Ismaya dan Hyang Antaga. Perlakuannya dianggap sudah melampuai batas bercanda, maka Hyang Manikmaya pun bersabda bahwa Batara Kanekaputra sebenarnya lebih pantas berpenampilan seperti mereka, sebab ke-elokan dan tingkah laku Kanekaputra dianggap tidak sepadan. Sekecap nyata, Batara Kanekaputra berubah wujud menjadi pendek, gemuk dan cebol. Melihat perubahan tubuhnya, Hyang Kanekaputra menangis meminta maaf kepada Manikmaya, tetapi semuanya sudah terlanjur. Hyang Manikmaya pun meminta maaf kepada Kanekaputra bahwa dirinya tidak dapat merubah lagi bentuk rupa Kanekaputra. Hyang Ismaya dan Antaga menasehati Kanekaputra untuk dapat menerima cobaan tersebut dengan kelapangan jiwa. Dan kepada Manikmaya mereka pun menasehati agar tidak gegabah dalam menyabdakan Kawrastawam yang bercampur dengan nafsunya, sehingga nantinya akan menjadi malapetaka yang akan merugikan banyak orang. Sejak saat itu Hyang Kanekaputra lebih dikenal dengan nama barunya yaitu Batara Narada.

Geger Kahyangan 3 : Gareng Dan Petruk


Hari-hari selanjutnya kahyangan Suralaya digegerkan lagi oleh kedatangan dua jin yang bernama Mercukilan dan Mercukali. Mercukilan berperawakan tinggi jangkung dengan hidung panjang seperti burung pelatuk dan kepalanya berkuncir, sedangkan Mercukali berperawakan pendek berhidung besar bulat seperti buah tomat, kepalanya juga sama berkuncir. Keduanya bertingkah jenaka tapi sering sekali menyombongkan diri. Apalagi setelah keduanya sanggup mengalahkan Cingkarabala dan Balaupata sehingga kedua duruwiksa penjaga gerbang Selamatangkep itu harus lari tunggang langgang menghadap Sang Hyang Jagatnata (Manikmaya) di istana Jonggring Salaka. Sang Hyang Manikmaya lalu menghadapi Mercukilan dan Mercukali menanyakan maksud kedatangan mereka. Kedua jin itu dengan sombongnya meminta Manikmaya menyerahkan kahyangan Suralaya kepada mereka berdua. Mereka mengaku merasa lebih pantas menguasai Triloka dibandingkan Manikmaya yang hanya perwujudan ‘akyan’ (jasad halus). Sang Hyang Manikmaya yang sudah pasti menolak permintaan kedua jin itu, maka mereka pun melakukan perang tanding. Mercukilan dan Mercukali memiliki kesaktian-kesaktian gaib, gerakan mereka sangat gesit sehingga Sang Hyang Manikmaya merasa kesulitan menghadapinya. Begitu juga dengan Mercukilan dan Mercukali, keduanya tidak sanggup mengalahkan kesaktian Manikmaya. Pertempuran diantara mereka cukup dahsyat walaupun kedua jin itu bertempur secara semrawutan, terkesan bercanda atau memang sengaja meremehkan lawannya. Hal itu membuat Manikmaya merasa kesal, ia seperti sedang dipermainkan oleh kedua musuhnya, maka ia pun memutuskan untuk menyelesaikan pertempuran dengan menyiapkan aji Kemayan agar musuh-musuhnya dapat segera dibinasakan, tapi sebelum Manikmaya merapal kesaktiannya, Hyang Ismaya dan Antaga datang menghampiri. Hyang Ismaya melarang Manikmaya menggunakan aji Kemayan, dan membiarkan dirinya untuk menghadapi kedua bangsa jin tersebut.

Melihat Hyang Ismaya perutnya buncit, pantatnya besar, kepalanya berkuncung, dan giginya cuma satu menghiasi mulut, Mercukilan dan Mercukali saling berbisik lalu terkekeh-kekeh menertawakan. Dengan sombongnya, mereka menganggap suruhan Manikmaya itu tidak lebih dari dua duruwiksa penjaga gerbang Selamatangkep yang dapat mereka kalahkan dengan sangat mudah. Hyang Ismaya sebenarnya menyukai tingkah jenaka Mercukilan dan Mercukali, tetapi ia tidak menyukai sifat-sifat sombongnya. Ismaya mengingatkan kepada dua jin itu agar tidak selalu meremehkan dan menghina orang lain, sebab wujud mereka pun tidak lebih dari keadaannya. Mercukilan dan Mercukali tidak menggubris kata-kata Hyang Ismaya, keduanya segera menerjang, akan tetapi Hyang Ismaya yang sudah siap menghadapi keduanya, menyambut serangan mereka. Pertempuran mereka tidak berlangsung lama, sebab Hyang Ismaya sendiri bertempur lebih semrawut dibandingkan kedua musuhnya. Mercukilan dan Mercukali jatuh bangun menghadapi Hyang Ismaya, keduanya tersungkur setelah ditabrak oleh Hyang Ismaya, lalu oleh Hyang Ismaya kedua kuncir kepala kedua jin itu ditangkap sehingga mereka menjerit-jerit memohon ampun. Hyang Ismaya memantrai mereka dengan aji Kawrastawam (kawaspadan cipta). Seketika wujud Mercukilan dan Mercukali berubah, wajah mereka yang sebelumnya agak menyeramkan berubah menjadi seperti rakyat jelata yang polos. Mereka berdua kemudian diampuni dan diangkat anak oleh Hyang Ismaya. Mercukilan namanya diganti menjadi Petruk sedangkan Mercukali diganti namanya menjadi Gareng.

Geger Kahyangan 2 : Lembu Andini



Prabu Pattanam raja bangsa dedemit di Dahulagiri mempunyai tiga putra yaitu, Andini (Andana), Cingkarabala dan Balaupata. Ketiga putra Prabu Pattanam ini berkeinginan menjadi raja Triloka dengan maksud ingin merebut kahyangan Suralaya dari tangan Sang Hyang Manikmaya.
Andini (Andana) adalah putra Prabu Pattanam yang tersulung, wujudnya berupa lembu dengan bulunya yang kuning keemasan, sedangkan Cingkarabala dan Balaupata berwujud raksasa kembar bersenjatakan alugora (gada). Setelah mendapat restu dari ayahandanya, mereka lalu berangkat menuju puncak Tengguru (kahyangan Suralaya). Cingkarabala dan Balaupata naik di punggung Andini. Lembu berwarna bulu kuning keemasan itu melesat ke angkasa raya bagaikan kilat tatit. Namun sebelum mereka sampai ke puncak Tengguru, di angkasa raya mereka telah dihadang oleh Sang Hyang Manikmaya. Melalui aji Pengabaran, Raja Tribuana itu telah waspada sebelumnya akan kedatangan mereka yang ingin menyerang kahyangan Suralaya, maka di angkasa mereka pun bertempur.
Cingkarabala dan Balaupata

Andini yang sakti dapat mengeluarkan semburan api dari mulutnya, sedangkan Cingkarabala dan Balaupata kedua senjata mereka yang berbentuk alogora menggelegar seperti halilintar. Namun kesaktian mereka tidak setara dengan Sang Hyang Manikmaya. Cingkarabala dan Balaupata ambruk luruh ke bumi terkena pukulan tumbak pusaka Trengganaweni. Andini sendiri tidak berkutik, tubuhnya pun sama luruh terkena aji Kemayan yang dijapa oleh Sang Hyang Manikmaya. Ketiga putra prabu Pattanam tidak berdaya menghadapi kesaktian Sang Hyang Manikmaya, mereka mengaku takluk dan ingin mengabdi kepada Manikmaya. Ketiganya diampuni dan diterima oleh Sang Hyang Manikmaya, maka saat itu juga ketiga putra Prabu Pattanam masing-masing diberi tugas. Andini yang berwujud lembu dan mempunyai kecepatan yang sangat luar biasa dijadikan kendaraan pribadi Sang Hyang Manikmaya, sedangkan Cingkarabala dan Balaupata diberi tugas menjadi penjaga pintu gerbang Selamatangkep (pintu gaib kahyangan Suralaya).

Geger Kahyangan 1 : Kalamercu


Setelah beberapa kejadian semenjak pertikaian Sang Hyang Antaga Dan sang Hyang Ismaya berebut tahta , kemudian naiknya Sang Hyang Manikmaya , terus perebutan Pusaka Jamus Kalimasada dari Sang Hyang Rudra , maka wibawa Sang Hyang Manikmaya makin turun , dari hasil survey menunjukkan bahwa kepercayaan penghuni jagad semesta makin turun, mereka menilai Sang Hyang Manikmaya mengggunakan cara cara licik agar bisa menjadi penguasa kahyangan , bahkan beberapa kerajaan bawahan dan petinggi mulai menunjukan sikap akan melakukan pemberontakan.

Alkisah Prabu Ditya Kalamercu yang merupakan raja Jin dan siluman dari kerajaan Tunggul Wesi yang juga punya ambisi untuk menjadi penguasa Tri Buana Loka , merasa bahwa dia lebih mampu daripada Sang Hyang Manikmaya segera mengumpulkan Balatentaranya untuk menyerang kahyangan Tengguru Candradimuka menggelegar mengeluarkan awan panas dari puncaknya , ini adalah pertanda kalau akan terjadi sesuatu peristiwa di kahyangan Tengguru. Sang hyang Manikmaya segera meminta kepada Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya untuk bersiap siap menghadapi kejadian yang akan terjadi. Mereka segera keluar dari Kahyangan , menyambut kedatangan musuh yang tak lain adalah Prabu Ditya Kalamercu dan bala tentaranya , ini dilakukan agar peperangan tidak merusak kondisi Kahyangan Tengguru yang sedang dalam tahap pembangunan dan renovasi.

Pertempuran pun terjadi ketika kedua belah pihak saling berhadapan. Prabu Kalamercu berhadapan langsung dengan Sang Hyang Manikmaya, sedangkan puluhan ribu bala tentaranya bertempur melawan Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga. Pertempuran seperti tidak berimbang, namun karena Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga mempunyai kesaktian yang luar biasa, maka serangan bala tentara pasukan Prabu Kalamercu dapat dihadapi. Bahkan sebaliknya pasukan Prabu Kalamercu kualahan menghadapi dua kesatria dewa yang tampangnya kini tidak berbeda dengan bangsa dedemit itu. Korban berjatuhan di pihak bala tentara Detya Kalamercu. Mereka jatuh bertumbangan, ada yang terbakar api, ada yang tersapu badai, dan terjilat hangus halilintar yang disebabkan oleh kesaktian Hyang Ismaya dan Hyang Antaga.

Sementara itu Sang Hyang Manikmaya perang tanding dengan Prabu Detya Kalamercu. Keduanya saling terjang, saling pukul dan saling beradu kekuatan yang masing-masing dilambari aji-aji kesaktian. Petir menggelegar, api berkobar, sesaat lalu badai angin dan hujan berbaur menyapu seluruh pelataran bumi tempat pertarungan mereka. Prabu Detya Kalamercu sangat sakti mandraguna sehingga Hyang Manikmaya harus mengeluarkan pusaka-pusaka Kadewatan untuk melawannya, tapi kehebatan pusaka Hyang Manikmaya tidak membuat gentar Prabu Detya Kalamercu. Raja Jin itu sangat sukar untuk dibunuh, bahkan tumbak pusaka Trengganaweni dan tumbak Kalaminta milik Hyang Otipati yang konon dapat meluluh lantakan gunung, tetap tidak mampu mencederai raja Jin itu.

Pada pertempuran selanjutnya, Sang Hyang Manikmaya terdesak mundur, ia keteteran menghadapi serangan dan terjangan Detya Kalamercu hingga suatu ketika Manikmaya terjebak di salah satu lereng gunung yang berbatu cadas. Tubuhnya dilemparkan oleh Prabu Kalamercu dan menghantam bebatuan cadas. Hyang Manikmaya ambruk bersama reruntuhan batu-batu gunung, dan salah satu kakinya terhimpit batu-batu cadas yang besarnya sebesar gajah. Setelah memukul hancur batu yang menghimpit kakinya, Hyang Manikmaya terkejut saat melihat kakinya menjadi kecil sebelah. Ia teringat kutukan ayahandanya, bahwa kakinya akan menjadi kecil sebelah dan menjadi lemah, maka namanya kini bertambah menjadi Sang Hyang Lengin.
Sang Hyang Manikmaya menjadi murka atas kejadian itu, maka ia pun kemudian merapal aji Kemayan untuk menaklukan musuhnya. Prabu Detya Kalamercu tidak sanggup melawan kekuatan aji Kemayan yang dijapa oleh Manikmaya. Tubuhnya lunglai seperti tidak bertulang, kesaktiannya seperti sirna, ia pun ambruk di palagan yuda. Detya Kalamercu menggerung menjerit-jerit minta ampun. Ia berjanji tidak akan melakukan penyerangan lagi terhadap kadewatan Suralaya. Sang Hyang Manikmaya lalu mengampuni Prabu Detya Kalamercu, tetapi sebagai pelajaran untuk raja Jin itu, maka Hyang Manikmaya menghanguskan seluruh balatentara siluman Kalamercu yang masih tersisa. Ia mendatangi tempat pertempuran antara pasukan Siluman dan kedua saudaranya. Seketika setelah Hyang Manikmaya menjapa mantra kembali aji Kemayan, ribuan Jin dan Siluman pun hangus terbakar seketika. Dan lalu bangkai-bangkai siluman yang hangus itu oleh Hyang Manikmaya dicipta dengan aji Kawrastawam (kawaspadan cipta) hingga menjadi bebatuan yang menjalar sepanjang jalan dari kadewatan Suralaya menuju kawah Candradimuka, jalan itu kemudian diberinama Balagadewa.
Kini Detya Kalamercu dipulihkan kembali oleh Hyang Manikmaya, dan sebagai tanda kesetiaan Detya Kalamercu, raja Jin itu mempersembahkan damper kencana Mercupunda (singgasana emas yang bertaburkan mutiara)